Mungkin belum banyak yang tahu dengan Pagoda Kuthodaw, memang pagoda ini belum setenar Pagoda Shwezigon di Bagan namun sekilat pagoda Kuthodaw memiliki desain yang sama dengan Shwezigon. Pagoda yang satu ini memiliki 730 stupa kecil yang didalamnya terdapat prasasti dari marmer yang berisi ajaran Buddha sehingga pagoda ini mendapat julukan “The World’s Largest Book.”
Baca juga : Bersaing dengan Thailand, Liburan ke Filipina Murahnya juga Kebangetan
Pagoda Kuthodaw adalah pagoda Buddha yang terletak di kaki Mandalay Hill di Mandalay, Myanmar. Dibangun pada masa pemerintahan Raja Mindon Min karena kekhawatirannya akan hilangnya ajaran Buddha akibat invasi Inggris di negara tersebut. Kekhawatirannya tersebut mencetuskan gagasan yang fenomenal dengan diperintahkannya pembangunan pagoda ini.
Sang Raja meinta agar seluruh teks tripitaka diukir dalam lempengan batu besar agar ajaran Buddha tetap lestari ke anak cucu mereka. Tiap lempengan memiliki ukuran tinggi satu setengah meter dengan lebar satu meter dengan ukuran tebal 13 sentimeter. Jumlah total lempengan tersebut adalah 730 buah. Batu yang digunakan untuk membuat lempengan tersebut adalah batu marmer.
Setiap lempengan di letakkan di dalam stupa tersendiri yang disebut dengan “Kyauksa Gu.” Pembangunan pagoda ini terbilang mewah sebab pada awalnya setiap stupa dimahkotai permata di puncaknya, setiap stupa dibangun mengelilingi pagoda emas sebagai pusatnya. Diharapkan pagoda ini tetap lestari hingga lima milenia setelah tahun Buddha.
Adapun susunan stupa tersebut adalah 729 stupa berisi lempengan marmer yang berisi Tripitaka atau ajaran inti dari Buddha dan satu marmer menjelaskan tentang sejarah penulisan ke 729 marmer tersebut. Semua ajaran yang ada dalam lempengan marmer ini ditulis dengan aksara Pali dalam dua sisi.
Pembuatan prasasti ini dimulai tahun 1860 di sebuah gudang besar di dekat Madalay Palace. Teks secara keseluruhan dikerjakan dan diedit secara cermat oleh biksu senior serta diambil dari teks Tripitaka dari perpustakaan kerajaan. Untuk menyalin semua teks tersebut dibutuhkan waktu tiga hari.
Sayang pada masa penyerangan Inggris, banyak permata dan barang berharga lainnya yang dijarah. Namun beruntung teks Tripitaka tidak turut dihancurkan. Kini tulisan di prasasti tersebut dipertebal dengan menggunakan tinta hitam agar tulisan nampak terbaca dengan jelas. Next