Memancing bisa jadi hobi yang menyenangkan bagi sebagian orang, khususnya untuk yang suka mencari ketenangan. Selain itu, kegiatan tersebut juga bisa jadi sumber mata pencaharian bagi mereka yang hidup di pesisir atau di daerah aliran sungai. Memancing sendiri membutuhkan teknik tertentu yang harus dipelajari secara seksama, dan tentunya dibutuhkan pula kesabaran.
Baca juga : KEREN! di Madura Ada Gua Penuh Batu Warna Warni
Di era modern seperti sekarang, teknik memancing pasti sudah lebih canggih. Terlebih lagi, kapal-kapal penangkap ikan saat ini sudah dilengkapi dengan mesin yang tangguh. Sehingga tidak mudah karam saat tersapu gelombang besar atau saat badai datang. Meski demikian, sebagian orang masih tetap menggunakan teknik memancing tradisional untuk mendapatkan ikan.
Salah satu teknik memancing yang cukup unik untuk diulas adalah tradisi kuno yang masih diterapkan oleh sebagian nelayan di Taiwan. Dalam tradisi tersebut, para nelayan yang tinggal di distrik Jinshan, sebelah utara Taipei, menggunakan api untuk menangkap ikan. Walau kelihatannya sangat sederhana, teknik itu rupanya bisa membuat para nelayan mendapatkan beton-ton ikan.
Beruntung teknik memancing yang sudah berumur ratusan tahun itu masih dilestarikan sampai sekarang. Walaupun kini hanya ada 3 kapal ikan di Jinshan yang mempraktikkannya. Dulu, sebelum teknologi modern benar-benar menyentuh kehidupan para nelayan, ada 300 kapal yang menggunakan metode itu setiap malam. Kini, kebanyakan nelayan lebih memilih untuk menangkap ikan dengan cara modern.
Teknik kuno itu juga menjanjikan jumlah tangkapan ikan yang cukup lumayan lho. Para nelayan bahkan bisa mendapatkan 3 sampai 4 ton ikan dengan teknik ini. Tapi, cara itu hanya bisa diterapkan selama tiga bulan saja, yaitu antara bulan Mei hingga Juli. Selain bulan-bulan itu, mereka tampaknya akan kesulitan untuk mendapatkan ikan dengan teknik itu.
Ketika sesi memancing dengan api dimulai, para nelayan akan mengacungkan tongkat bambu yang ujungnya sudah dilumuri dengan belerang ke atas permukaan air. Umumnya teknik memancing ini hanya dilakukan saat malam hari. Sesaat setelah api dinyalakan, ratusan atau bahkan ribuan ikan pun akan tampak melompat di sekitar permukaan air yang diterangi cahaya api.
Jika sudah begitu, para nelayan hanya perlu menebar jala di sekitar perahu dan semua ikan akan terjaring dengan mudah. Dalam setiap sesi memancing, para nelayan biasanya akan menghabiskan waktu hingga enam jam di laut untuk menangkap sekitar tiga sampai empat ton ikan sarden. Dan bila cuaca sedang bersahabat, nelayan bisa mengantongi omset hingga USD 4.500 atau sekitar Rp 59 juta per malam.
Sebaliknya, bila cuaca sedang buruk. Jumlah tangkapan akan berkurang drastis yang pastinya akan berdampak langsung pada penurunan pendapatan. Jian Kun, seorang nelayan berusia 60-an yang masih memancing dengan api, mengaku kepada Daily Mail jika dirinya memang memiliki penghasilan harian yang tidak tentu. Meski begitu, dia tetap harus berlayar demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dewasa ini, memang hanya sedikit nelayan yang masih tertarik untuk mempraktikkannya lagi. Karena itu, pemerintah Taiwan kemudian membuat sebuah acara tahunan untuk mempromosikan teknik memancing dengan api. Festival itu pun telah dimulai sejak tahun 2013. Untuk mendukung perekonomian para nelayan di distrik Jinshan, pemerintah juga mengadakan tur fotografi bagi mereka yang tertarik dengan tradisi kuno ini.
Usut punya usut, tradisi kuno ini pertama kali dipraktikkan selama masa penjajahan Jepang di Taiwan, yakni antara tahun 1895 sampai 1945. Tapi sayang, kini budaya itu hanya bisa ditemukan di distrik Jinshan. Agar tidak hilang tersapu zaman, dinas pariwisata Taiwan pun semakin gencar untuk mempromosikan tradisi ini. Pemerintah juga rutin memberikan subsidi kepada nelayan agar mereka tetap melestarikan tradisi kuno ini.
Selain memancing dengan api, teknik kuno lain yang tak kalah unik adalah menangkap ikan dengan bantuan burung kormoran. Teknik tradisional ini bisa dibilang cukup sulit. Sebab, nelayan harus terlebih dulu melatih burung kormoran sehingga nantinya mereka bisa menangkap ikan di sungai. Jika merunut sejarah, teknik ini banyak dipraktikkan di Jepang dan China. Kemudian teknik tersebut dilakukan secara turun temurun.
Selain memancing dengan bantuan burung, ada juga lho yang menggunakan teknik kuno seperti memancing dengan bergelantungan pada tiang kayu. Tradisi itu masih tetap dilestarikan di di Distrik Galle, sebelah barat daya Sri Langka. Bahkan menurut penduduk setempat, budaya itu sudah ada sejak zaman Perang Dunia II.
Sayangnya, teknologi yang semakin canggih telah memaksa tradisi semacam itu untuk menuju kepunahan. Menangkap ikan dengan kormoran kini hanya dilakukan untuk keperluan pariwisata. Nelayan di China dan Jepang tak lagi menggantungkan hidup mereka dengan menerapkan teknik kuno tersebut. Mereka tentu lebih memilih metode yang lebih modern yang menjanjikan hasil lebih banyak.
Selain itu, profesi nelayan sendiri sudah banyak ditinggalkan. Karena sebagian besar anak muda di daerah pesisir atau pedalaman lebih tertarik untuk merantau ke kota dan bekerja kantoran. Karena itu, tradisi kuno semacam itu harus terus kita lestarikan. Dengan begitu, anak cucu kita kelak juga bisa melihatnya. Bukan hanya lewat video atau gambar saja. Next