Perang Topat merupakan tradisi turun temurun yang terus dijaga masyarakat Lingsar dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Baca juga : 6 Most Captivating Animal Attractions in Bali
Filosofi Perang Topat
Perang Topat atau Ketupat adalah sebuah acara adat yang diadakan di Pura Lingsar, Lombok Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Perang ini merupakan simbol perdamaian antara umat Islam dan Hindu di Lombok. Acara ini dilakukan pada sore hari, setiap bulan purnama ke tujuh dalam penanggalan Suku Sasak.
Ritual budaya Perang Topat bisa dimaknai sebagai suatu upacara yang mencerminkan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas karunia yang telah diberikan dalam bentuk kesuburan tanah, cucuran air hujan dan hasil pertanian yang melimpah.
Keyakinan Masyarakat Setempat
Kegiatan ini memperlihatkan toleransi antar dua umat beragama. Ritual tahunan ini juga dijadikan sebagai salah satu atraksi pariwisata oleh penduduk asli, dihelat di Kemalik dan Pura. Usai topat dibacakan doa, warga masyarakat baik muslim maupun Hindu, mulai saling melempar antara satu dengan yang lain menggunakan topat.
Setelah saling lempar ketupat seukuran buah rambutan, sejumlah masyarakat mengambil dan membawa pulang. Mereka meyakini topat itu dapat menyuburkan tanaman buah, dengan cara menggantungnya di pohon atau ditaruh di sawah. Dipercaya, topat tersebut membawa keberkahan dan kesuburan baik sawah maupun tanaman.
Sebagian masyarakat setempat meyakini bahwa upacara ini memberi berkah dengan turunnya hujan. Sementara sebagiannya meyakini bahwa upacara ini dilaksanakan sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang dikaruniakan oleh Yang Maha Kuasa bagi kemakmuran dan kesuburan alam.
Waktu Pelaksanaan Perang Topat
Perang Topat biasanya dilaksanakan selepas waktu shalat Ashar, bertepatan dengan selesainya persembahyangan umat Hindu. Warga Sasak menyebut waktu itu sebagai “raraq kembang waru” atau di saat bergugurannya kembang waru sekitar pukul 17.00. Next