Gunung Salak merupakan salah satu gunung di Jawa Barat yang mengandung misteri cukup unik. Tak heran jika banyak pendaki yang menyebutnya sebagai gunung angker. Gunung dengan ketinggian 2.211 meter diatas permukaan laut ini memiliki jalur di sisi selatan tepat di Desa Girijaya, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, merupakan salah satu jalur pendakian menuju Puncak 1 Gunung Salak. Kesejukan dan keasrian udara menambah suasana semakin menyenangkan. Rapatnya pepohonan hutan gunung Salak menjadi satu jalur pendakian yang penuh tantangan. Jalur ini layaknya pembelah hutan hujan tropis Jawa Barat.
Baca juga : Melongok Dunia Bawah Laut Gili Ketapang, Sapa Langsung Si ‘Nemo’
Pendaki yang menempuh jalur tersebut akan melewati kompleks pemakaman bernama Astana Girijaya. Disinilah tempat pemakaman sang kiai bernama Muhammad Santri, masyarakat lokal menyebutnya Eyang Santri. Bangunan Astana Girijaya tertata cukup rapi dengan benteng tembok bercat putih dan berpintu kayu jati. Cungkupnya mirip dengan bangunan khas pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Pemakaman ini mengingatkan kita tentang salah seorang pejuang penyebaran Islam di Tanah Jawa yang tidak diketahui banyak orang.
Lantas siapa Eyang Santri ini? Beliau adalah salah satu pendukung Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa tahun 1825-1830. Beliau sempat melarikan diri dari Keraton Mangkunegaran Surakarta karena diburu pasukan Belanda. Belanda memang sangat membenci ketika warga jajahannya mulai menyebarkan agama Islam. Beliau yang akrab dipanggil Djojokusumo ini pergi mengembara ke arah barat Pulau Jawa selama 66 tahun. Ia sempat pergi ke Kebumen, Majalengka, Kuningan, Tasikmalaya, Karawang, sampai Banten. Ia selalu menutupi identitasnya dengan menggunakan nama samaran. Ketika di Kuningan ia menyandang nama Zakaria, dan di Cibatok, Bogor, menyandang nama Hasan.
Ketika berada di Girijaya, beliau menggunakan nama Kiai Muhammad Santri, Kiai Santri, atau Eyang Santri. Nama samaran ini Belanda berkesimpulan bahwa Djojokusumo telah meninggal dunia. Meskipun kabar Perang Diponegoro telah usai dan beberapa santri utusan dari Solo sempat mencari beliau dan meminta untuk pulang ke Solo, namun Beliau menolak dan memilih menjadi petani saja di desa Cidahu. Sejak itu Eyang Santri dikunjungi banyak pejuang dan aktivis politik yang menentang Belanda.
Hingga pada akhirnya Eyang Santri memilih untuk menjadi kiayi dan mulai membangun pondok pesantren dikaki gunung Salak ini. Tahun demi tahun Eyang Santri mengajarkan ilmu tasawuf kepada para santrinya hingga menyebar disekitar Banten dan Jawa Barat. Bahkan Eyang Santri dianggap sebagai salah seorang mursyid Tarekat Syattariyah.
Banyak sumber yang menyatakan bahwa Beliau adalah salah satu tokoh penting dalam penyebaran ilmu tasawuf falsafi, hingga tokoh perlawanan Belanda dan tokoh penggerak kemerdekaan. Namun di balik daya juang Eyang Santri banyak orang yang tidak mengetahui sejarah yang sebenarnya. Next