Keberuntungan menghampiri Travelingyuk kala berkunjung ke Gunungkidul. Pada Minggu (6/5), kabupaten yang terletak di tenggara Jogjakarta tersebut menjadi tuan rumah Festival Jathilan dan Reog 2018. Pesertanya datang dari seantero Jogja, Sleman, Kulonprogo, dan Bantul.
Baca juga : Meriahnya Event-event Kebudayaan di Singkawang dari Festival Sampai Karnaval
Kami pun berkesempatan menyaksikan langsung festival budaya yang rutin digelar tiap tahun tersebut. Apalagi lokasi yang dipilih sebagai tempat penyelenggaraan juga tak sembarangan, di kaki Gunung Api Purba Nglanggeran – bagian dari kawasan Geopark Gunung Sewu UNESCO.
Pertunjukan Bernilai Seni Tinggi
Tidak semua penari atau kelompok seni bisa tampil di Festival Reog dan Jathilan Yogyakarta. Masing-masing dari empat kabupaten dan satu kota akan mengadakan seleksi untuk memilih wakilnya. Hanya kelompok reog dan jathilan terbaik yang nantinya akan dikirim ke festival untuk mewakili daerahnya.
Untuk edisi 2018, Gunungkidul kebetulan terpilih sebagai tuan rumah. Berdasarkan pertimbangan estetika dan kesiapan, Nglanggeran dipilih sebagai lokasi penyelenggaraan kompetisi. Dari pengamatan Travelingyuk, animo masyarakat sekitar dalam menonton pertunjukan budaya ini juga sangat tinggi.
Kisah Heroik di Festival Reog dan Jathilan
Pertunjukan jathilan dan reog yang diperagakan di Festival Jathilan Gunungkidul tak lepas dari pengaruh kisah-kisah kepahlawanan. Perwakilan Bantul, yang menyabet trofi juara di kategori jathilan, mengambil inspirasi dari Retnaningsih – salah satu istri Pangeran Diponegoro yang dikisahkan menemani sang pahlawan hingga akhir hayatnya di Fort Rotterdam, Makassar.
Sementara juara dari kategori reog, Gunungkidul, mengangkat tema Jumenengan Ponco Dirjo. Dari sisi sejarah, daerah Ponco Dirjo memegang peranan penting dalam perkembangan sistem pemerintahan di Gunungkidul. Tak heran jika kisahnya sering diangkat dalam beragam seni tarian maupun musik tradisional.
Hakikat Reog dan Jathilan
Reog Jogjakarta berbeda dengan Reog Ponorogo yang selama ini lebih banyak dikenal orang. Reog di Jogja tidak menggunakan topeng berukuran raksasa atau biasa dikenal dengan istilah merak. Selain itu, gerakan tariannya juga lebih meriah dan menggambarkan semangat keprajuritan di masa lampau.
Kesenian reog mengambil inspirasi dari kisah Panji Asmorobangun dan umumnya dipertunjukkan oleh minimal 10 orang penari. Masing-masing punya peran sendiri, ada yang menjadi bancak dan doyok (dikenal juga dengan istilah penthul dan tembem), prajurit udeng gilig, prajurit, kuda kepang, dan penongsong.
Sementara untuk iringan musiknya menggunakan tetabuhan alat tradisional. Umumnya berupa kendang/dodhok, bendhe, kecrek, dan angklung.
Senja di Embung Ngalenggeran
Rampung menyaksikan gelaran jathilan, Travelingyuk lantas bergerak ke Embung Nglanggeran, lokasi wisata yang letaknya tak jauh dari tempat festival diadakan. Embung sendiri merupakan istilah setempat untuk menyebut sumber mata air. Sementara Embung Nglanggeran sejatinya adalah danau buatan yang menopang sistem irigasi kebun buah sekitarnya.
Meski demikian, Embung Nglanggeran kemudian justru menjadi tempat wisata populer sejak dibuka pada 2013. Tak hanya karena keindahan pemandangan alam di sekitarnya, seperti atmosfer matahari terbit/terbenam dan Gunung Api Nglanggeran, di lokasi ini pengunjung juga dimanjakan dengan kehadiran sejumlah spot selfie serta gardu pandang.
Travelingyuk lantas menutup perjalanan kali ini dengan menikmati suasana senja dari salah satu titik selfie di Embung Nglanggeran. Atmosfernya terasa amat syahdu begitu melihat matahari terbenam di balik perbukitan dekat Gunung Api Purba.
Begitulah gambaran mengenai eksotisnya Festival Jathilan Gunungkidul dan indahnya panorama Embung Nglanggeran. Bagi yang gemar akan wisata budaya, jangan lupa untuk menyiapkan diri menyambut festival reog dan jathilan Jogjakarta edisi berikutnya. Next