Semilir angin laut yang berhembus sore itu amatlah menyejukkan. Sekelompok kawanan burung camar beterbangan berebut ikan yang berkecipak di tanah surut. Pemandangan kian menawan kala sang surya mulai undur diri. Cahaya emas kemerahan terlihat berkilau di hamparan langit. Di sisi lain, para nelayan tampak tengah sibuk bersiap pulang kandang tepat ketika alunan azan maghrib berkumandang.
Baca juga : Mau River Tubing di Klaten Gratis? Bisa kok Cukup Bayar Pakai Sampah
Begitulah pemandangan sehari-hari di sebuah jembatan kayu titian yang menjorok ke laut pesisir Desa Lumpur, Kabupaten Gresik. Para penduduk desa menyebut jembatan yang membentang sepanjang kurang lebih 300 meter itu dengan sebutan Geladak Gede. Geladak itu sendiri telah menjadi jalur utama bagi para nelayan yang hendak mencari nafkah di laut lepas selama bertahun-tahun lamanya.
Geladak Gede ini seluruhnya terbuat dari rangkaian kayu ulin yang memiliki warna coklat yang khas. Pada bagian lantai geladak, tertancap jajaran kayu pendek dengan jarak sekitar 5 cm antarkayunya. Karena Geladak Gede bukan tempat untuk berwisata mainstream, maka tidak dibuat pagar untuk berpegangan. Jadi, kalau sobat traveler hendak berfoto-foto menggunakan ponsel, harap berhati-hati. Soalnya, bila ponsel terjatuh, kemungkinan besar langsung nyemplung ke dasar laut.
Dengan pemandangan yang memanjakan indera, Geladak Gede merupakan tempat yang sempurna bagi pelaku fotografi untuk mengambil gambar, khususnya saat berburu foto landscape, golden hour maupun human interest. Bahkan, ada beberapa pasangan yang hendak menikah, memilih Geladak Gede sebagai lokasi pemotretan antimainstream.
Supaya tak terkesan kusam, warga nelayan mengecat jembatan titian itu dengan warna-warni yang cantik di beberapa spot. Sungguh Instagramable! Ketika hari semakin petang, kaum muda-mudi mulai terlihat berdatangan. Secara berkelompok maupun sendirian, mereka sibuk berpose selfie atau berburu sunset.
Selain itu, walaupun tampak sangar, para nelayan sekitar pun ternyata bersikap santun. Mereka bahkan rela mengalah demi tak mengganggu kesibukan berfoto-foto pengunjung. Padahal, mereka sedang bekerja, tidak tengah bersenang-senang. Malahan, mereka dengan suka cita menunjukkan tempat-tempat menarik lainnya di sana. Para nelayan pun tak keberatan aktivitas mereka diabadikan sebagai fotografi bertema human interest.
Sebetulnya, Geladak Gede menyimpan potensi wisata bahari, mengingat tidak ada wisata pantai di pusat kota. Lebih-lebih Pantai Dalegan yang berada di Kecamatan Panceng berjarak kurang lebih satu jam perjalanan dari pusat kota. Oleh sebab itu, Geladak Gede bisa menjadi alternatif sobat traveler kala berkunjung ke Kabupaten Gresik.
Suasana Religi dan Kota Bandar
Desa Lumpur, lokasi Geladak Gede, adalah daerah pesisir yang kental dengan nuansa agama Islam. Kabupaten Gresik sendiri termasyhur karena destinasi wisata religinya. Kota yang sekarang berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa ini sendiri sempat menjadi pusat penyebaran agama Islam pada masa lampau dengan situs Giri Kedaton sebagai jantungnya.
Selain itu, daerah pesisir Kabupaten Gresik sebetulnya memiliki makna yang mendalam bagi Wong Nggersik. Pada masa lampau, Gresik merupakan salah satu kota bandar terbesar di nusantara. Pelabuhan di Gresik mula-mula berdiri dan mencapai masa kejayaannya pada pertengahan abad ke-14.
Pelaut Cina menyebut Gresik dengan Tse Tsun (perkampungan kotor) sementara para pedagang Arab menyebutnya dengan Qarra Syaik (tancapkan sesuatu). Di pesisir pantai Gresik itulah Syekh Maulana Malik Ibrahim menginjakkan kaki pertama kali di bumi Indos Nesos, sebelum akhirnya berhasil menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Pada umumnya, wisatawan berkunjung ke Gresik dalam rangkaian tur Wali Songo. Geladak Gede, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sejatinya bukanlah tempat wisata melainkan pusat aktivitas bahari rakyat. Oleh sebab itu, tak ada biaya tiket masuk yang ditarik seperti di tempat-tempat wisata pada umumnya. Seluruh akses dan fasilitas di pelabuhan rakyat ini diganjar secara cuma-cuma, kecuali hendak menumpang perahu.
Bale Kambang yang Agung
Saat menuju Geladak Gede, sobat traveler bakal melewati sebuah balai agung yang disebut dengan Bale Kambang. Menurut penuturan penduduk sekitar, konon pada tahun 1506 Masehi, nelayan desa setempat menemukan onggokan delapan kayu besar berukiran gaya Banyuwangi yang khas, tengah mengambang di bibir pantai di sekitar Geladak Gede berdiri sekarang ini. Warga bertanya-tanya, bagaimana mungkin delapan kayu berukiran khas itu bisa hanyut dari ujung timur sampai ke ujung utara Pulau Jawa.
Mereka kemudian memindahkan kayu-kayu ke tempat lain supaya tidak mengganggu kapal atau perahu yang bakal berlabuh. Anehnya, setiap kali dipindahkan, onggokan kayu itu selalu kembali ke pantai desa. Akhirnya, warga setempat berinisiatif memanfaatkan delapan kayu itu sebagai tiang penyangga untuk membangun sebuah tempat untuk beristirahat sekaligus berkumpul (balai).
Secara berangsur, tempat berkumpulnya warga nelayan itu dinamai Bale Kambang. Jadi, jika ditilik dari tahun penanggalan ditemukan dan didirikannya, usia Bale Kambang itu sendiri telah mencapai lebih dari setengah milenium.
Pada minggu pertama bulan Mei setiap tahunnya, diselenggarakan Haul Mbah Kyai Sindujoyo. Khusus orang-orang dari komunitas seni Kabupaten Gresik, rutin menggelar festival baca tembang macapat Serat Sindujoyo yang terkenal. Mbah Sindujoyo sendiri merupakan tokoh Islam yang tersohor pada zamannya.
Kalau berniat berkunjung ke Geladak Gede, datanglah pada awal bulan ke-5 untuk menonton penduduk lokal bergantian membaca tembang macapat di Bale Kambang.
Petunjuk ke Lokasi
Perjalanan mencapai Geladak Gede sangatlah mudah. Dari Surabaya, sobat traveler bisa menumpang berbagai jenis angkutan umum jurusan Gresik dengan tujuan Terminal Bunder maupun Terminal Osowilangun. Dari situ, perjalanan bisa dilanjutkan dengan menumpang angkutan jurusan Terminal Gubernur Suryo yang bersebelahan dengan Pasar Gresik.
Dari sana, Geladak Gede hanya berjarak kurang lebih 2 Km saja. Biaya yang dikeluarkan untuk ongkos transportasi dari Surabaya ke Gresik tak lebih dari Rp10 ribu saja.
Ketika sampai di Geladak Gede, kita bisa merasakan suasana masa lampau, sambil menikmati sebungkus sego karak dan segelas kopi kasar khas Gresik. Di jembatan titian itu, kita bisa duduk sambil merasakan hembusan angin yang menerpa tubuh dengan lembut sembari terpapar sinar matahari yang hangat.
Adegan itu sangatlah tepat untuk menghayati momen-momen ketika Malik Ibrahim menginjakkan kaki pertama kali di Pulau Jawa, sebelum akhirnya bersama delapan wali lainnya, membuat agama Islam tersebar dengan mulia.
Di Geladak Gede, kita bisa membayangkan kala pelabuhan rakyat belum dijejali mesin – mesin diesel dan polusi bunyi kapal motor. Tatkala pemandangan masih asri dan belum penuh sesak dengan cerobong – cerobong raksasa yang memuntahkan asap-asap hitam pekat. Sungguh damai bukan?
Bila sobat traveler mencari lokasi wisata antimainstream di Kabupaten Gresik, Geladak Gede-lah tempatnya. Next