Di tengah memanasnya situasi Indonesia beberapa pekan belakangan, rupanya masih ada tempat yang memberi contoh nyata soal toleransi. Tanpa memandang latar belakang kepercayaan, aksi sukarela dilakukan secara ikhlas demi membantu sesama. Keindahan tersebut terjadi di Klenteng Eng An Kiong, Istana Tiga Agama.
Baca juga : Tomboan Ngawonggo Tajinan di Malang, Menikmati Sajian ala Pedesaan
Jika hanya melihat bungkus luarnya saja, takkan ada yang menyangka komunitas di Eng An Kiong punya pandangan luar biasa terhadap perbedaan. Kehadiran mereka seolah menjadi oase di tengah tandusnya atmosfer kerukunan antar golongan. Sesuatu yang seharusnya terus dijaga di republik ini.
Istana Tiga Agama
Klenteng Eng An Kiong berada di Jl Martadinata, Kotalama, Kedungkandang, Malang. Sama seperti klenteng lain, bangunannya didominasi warna merah. Begitu masuk ke dalam, Travelingyuk disambut aroma dupa yang khas. Atmosfer ala Tiongkok terasa sangat kental dengan hadirnya beberapa altar pemujaan dan beberapa patung dewa.
Travelingyuk lantas disambut Pak Anton Tryjono, rohaniwan Konghucu sekaligus perwakilan pengelola klenteng. Ia menuturkan bahwa rumah peribadatan Eng An Kiong sudah berdiri sejak 1825, atau dengan kata lain sudah berusia 193 tahun.
Nama Eng An Kiong terdiri atas tiga suku kata yaitu Eng (abadi), An (keselamatan), dan Kiong (istana). Menurut Anton, inilah yang membuat areal klenteng dibentuk sedemikian rupa hingga mirip dengan istana.
Lebih lanjut pria paruh baya tersebut menjelaskan klenteng Eng An Kiong sebenarnya merupakan tempat peribadatan untuk tiga aliran kepercayaan; Taoisme, Konghucu, dan Buddha Mahayana. Ketiganya memuja dewa-dewi yang sama, namun punya tata cara peribadatan berbeda.
Toleransi demi Kemanusiaan
Obrolan Travelingyuk dan Anton kemudian berlanjut soal toleransi. Ia menuturkan bahwa dalam kepercayaan Konghucu, kemanusiaan adalah yang utama. Oleh karena itu sikap toleran terhadap pemeluk agama lain bukan hal baru bagi komunitasnya.
“Simbol kami sebagai orang Tionghoa yang beragama Konghucu ‘Hanya kebajikan Tuhan berkenan’. Setiap perbuatan bajik akan bersinergi dengan bumi dan Tuhan. Dengan demikian akan terjadi sesuatu yang kondusif,” jelasnya.
Berbagi Kebaikan di Bulan Ramadan
Sebagai bentuk nyata filosofi tersebut, komunitas Eng An Kiong punya sejumlah program yang mereka sebut aksi kemanusiaan. Menurut Anton, pihaknya merasa ikut bertanggung jawab dalam memperhatikan kebutuhan orang-orang di sekitar lingkungan. Memasuki bulan Ramadan, hal itu diwujudkan dengan kegiatan berbagi takjil di pinggir jalan.
Travelingyuk sempat ikut membantu dalam aksi positif tersebut. Bersama belasan petugas klenteng lainnya, kami mengangkut krat-krat berisi minuman takjil. Pembagian dilakukan di pinggir jalan dekat gerbang masuk dan langsung disambut antusias masyarakat.
Suasana kerukunan antarumat terasa begitu kental. Mereka yang berkeyakinan Konghucu dengan ikhlas membagikan takjil di tengah teriknya sinar matahari sore. Sementara saudara-saudara Muslim dengan antusias mengulurkan tangan.
Anton mengatakan bahwa aksi lanjutan masih akan digelar dua minggu menjelang Hari Raya. Alih-alih membagi minuman, pihaknya akan membagikan nasi kotak untuk berbuka puasa.
Melestarikan Budaya
Apa yang dilakukan komunitas klenteng Eng An Kiong memang luar biasa. Tak hanya melakukan aksi kemanusiaan, mereka ternyata juga punya kepedulian dalam melestarikan kebudayaan lokal.
Hal tersebut diwujudkan dengan menggelar latihan rutin karawitan dan barongsai. Terkadang juga ada dalang wayang potehi (wayang ala Tiongkok) diundang untuk melakukan pertunjukan. Kelas khusus juga disiapkan untuk anak-anak kecil dan remaja yang ingin belajar Bahasa Mandarin.
Itulah sekilas gambaran mengenai serangkaian gerakan positif dari komunitas Klenteng Eng An Kiong. Tak cuma punya arsitektur memukau, istana tiga agama tersebut ternyata juga bisa jadi inspirasi sekaligus pengingat akan pentingnya toleransi di negeri ini. Next