Angin bertiup semilir di sudut kota Makassar kala itu. Ia membawa pesan hangat akan fajar yang mulai menyingsing. Saya bersama salah seorang sahabat berboncengan mengenderai sepeda motor menuju daerah Kelurahan Tamangappa, kawasan TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Baca juga : Itinerari Bandung-Semeru, Modal 500 Ribu Sudah Puas Hiking Maksimal
Jalanan kota masih sepi, sesekali saya berpapasan dengan truk pengangkut sampah yang lalu lalang. Langit sudah mulai terang padahal masih pukul 05.00 subuh. Saya pun memacu sepeda motor saya melintasi kawasan yang terkenal dengan bau sampah basahnya yang menyengat.
Udara pagi khas pedesaan mulai menyentuh hidungku. Ini pertanda bahwa saya semakin dekat dengan Romangtangayya. Sekitar pukul 05.30 pagi saya sampai di lokasi setelah beberapa kali salah masuk lorong karena gelap (bahasa makassar untuk gang/jalan sempit). Di tempat ini saya melihat berbagai aktivitas masyarakat meskipun matahari belum kelihatan. Ada yang menuju ke sawah, adapula yang sedang mengayuh perahu.
Ini makassar, di sudut kota yang jarang terekspos. Makassar terkenal akan wisata bahari dan kulinernya. Spot-spot wisata pun kebanyakan hanya menyuguhkan pemandangan matahri terbenam saja. Seperti Pantai Losari maupun Pantai Akkarena. Bahkan yang berwisata hingga ke pulau-pulau kecil seperti Pulau Samalona dan Pulau Kayangan jarang mengekspos fenomena matahari terbit di makassar.
Selain nelayan dan petani, terkadang kita melihat sapi, kerbau, dan kuda yang sedang asyik sarapan. Ketika musim hujan telah usai, air akan surut dan sebagian sawah yang tenggelam kembali digarap oleh para petani. Tempat ini adalah berkah bagi masyarakat sekitar karena musim apapun yang mereka hadapi, bumi selalu menyediakan kebutuhan mereka.
Awalnya tempat ini hanya saya kunjungi sekitar pukul 07.00 pagi. Saya menunggu anak-anak sekolah melintas menggunakan perahu. Mereka tinggal di seberang danau ini. Romangtangayya, begitu mereka menyebutnya. Mereka naik perahu menuju sekolah tepat di belakang saya, SD Inpres Kajenjeng namanya.
Mungkin banyak yang mengira bahwa daerah ini bukan di Makassar, tapi ini adalah fakta tentang potret pendidikan kita. Hal ini pun menjadi daya tarik wisata sosial bagi saya. Kita bisa belajar dari mereka tentang arti memperjuangkan pendidikan.
Makassar pagi hari selalu menanti kalian para penikmat fajar. Tak hanya kemilau matahari terbit yang akan kalian dapatkan, senyum hangat mereka siap menyambut kalian.
Di sini kita tidak sekedar menikmati melainkan memahami dan mempelajari kearifan lokal masyarakat di sudut kota. Secara tidak lansung kalian akan bernostalgia akan masa kecil ketika kita mulai mengenakan seragam putih merah. Mau coba sensasi liburan yang beda ? saya tunggu kalian di kotaku, Makassar. Next