Hampir tiap sudut Jogja penuh dengan cerita sejarah. Saya tidak sedang bicara tentang puisi Joko Pinurbo, yang mengatakan Jogja terbuat dari rindu, rumah, angkringan, dan kenangan. Ini benar-benar terkait sejarah panjang berdirinya Indonesia, yang bahkan dimulai sejak Kota Gudeg belum ada yang bisa disaksikan di Museum Purbakala Pleret.
Baca juga : Taman Wisata Mahoni Bangun Sentosa, Nuansa Eropa hingga Kegiatan Menantang di Banten
Keberadaan Jogja tak bisa dipisahkan dari sejarah salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa, Mataram. Meski begitu, Kota Gudeg baru benar-benar sejak disepakatinya Perjanjian Giyanti. Kala itu disepakati bahwa wilayah Mataram dipecah menjadi dua, Jogjakarta dan Surakarta (atau dikenal juga dengan nama Solo).
Sebelum Perjanjian Giyanti, kisah Mataram Islam sebagai salah satu kerajaan tersukses di tanah Jawa juga menarik disimak. Selama ini banyak yang mengetahui bahwa Kotagede sempat jadi ibu kota Kerajaan Mataram, namun sebenarnya kerajaan pernah dua kali memindahkan ibu kota. Pertama ke Kerta dan kemudian ke Pleret.
Fakta yang Hilang dari Pleret
Pleret merupakan sebuah kecamatan di Kabupaten Bantul, Jogja. Luasnya sekitar 22,97 km2 dan berada tiga belas kilometer dari arah tenggara dari Keraton Jogja. Kawasan ini memiliki sebuah museum berukuran kecil, namun tak dinyana menyimpan cerita sangat menarik.
Berdasarkan kisah yang beredar di masyarakat, Pleret dahulu merupakan sebuah kota yang sangat megah. Sayangnya, tidak seperti Kotagede yang masih dapat kita lihat sisa-sisa sejarahnya, situs-situs di Pleret bisa dibilang hampir hilang.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, Pleret pernah menjadi ibukota Kerajaan Mataram Islam. Sejarah bermula ketika Kotagede, ibukota saat itu, berkembang sangat pesat. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan, namun juga sebagai pusat perdagangan.
Sultan lantas memutuskan memindahkan pusat pemerintahan agar Kotagede difokuskan sebagai pusat perdagangan saja. Beliau lantas memilih pindah ke Kerta sembari membangun sebuah keraton megah di Pleret.
Pleret mencapai puncak kejayaan begitu keraton anyar selesai dibangun. Komplek istana anyar ini konon sangat megah dan luas, dikelilingi oleh tembok tebal nan tinggi. Kerajaan juga membangun sebuah masjid dengan kapasitas sangat besar.
Seolah masih kurang, Sultan lantas membikin sebuah laut tiruan (dikenal sebagai Segarayasa) untuk kepentingan pelatihan militer laut dan tempat rekreasi. Sayangnya, kemegahan itu sirna ketika pasukan Trunojoyo dari Madura menyerang dan membumihanguskan Pleret. Kini hanya sedikit sisa-sisa kejayaan yang bisa ditemukan dan sebagian besar masih terpendam di tanah Pleret.
Sebuah Museum Kecil Sarat Cerita
Museum Purbakala Pleret memang bukan museum terbaik. Koleksinya juga tidak sebanyak museum lain di Jogjakarta. Bentuk fisiknya juga kalah jauh dibandingkan dengan Museum Benteng Vredeburg atau bahkan Museum Ullen Sentalu. Tapi di sini Teman Traveler bisa menonton sebuah film yang menguak kemegahan Pleret beberapa ratus tahun silam.
Berkunjung ke Museum Purbakala Pleret tidak ada biaya masuk alias gratis. Teman Traveler cukup menuliskan nama di buku tamu. Di dalamnya terdapat peninggalan dari beragam situs sejarah, termasuk daerah-daerah di luar Pleret. Namun menurut pemandu, museum ini bakal menonjolkan sejarah Pleret secara khusus.
Teman Traveler bisa melihat replika batu bata yang ditemukan saat penggalian. Batu bata tersebut ukurannya jauh lebih besar dari batu bata modern dan diyakini sebagai pondasi keraton. Selain itu juga terdapat keris bernama Sabuk Intan dan kini menjadi masterpiece museum.
Museum Purbakala Pleret diharapkan bisa jadi pelopor dalam mengungkap misteri masa lalu Pleret. Berdasarkan penuturan pemandu, beberapa peneliti masih berusaha untuk menguak rahasia-rahasia yang terkubur di tanah sekitar sini. Bagaimana Teman Traveler, siap berkunjung ke sini? Next