Berkunjung ke Solo tidak lengkap rasanya bila belum menjejakan kaki ke Pasar Gede Hardjonagoro. Tempat ini tidak hanya menjadi roda perekonomian masyarakat lokal melainkan saksi bisu peristiwa-peristiwa yang terjadi di Solo sejak tahun 1923. Pasar dengan arsitektur perpaduan Jawa dan Belanda tersebut menjadi salah satu tujuan wisata. Teman Traveler bisa jalan-jalan sembari menikmati kuliner khas Solo. Yuk, simak ulasannya.
Baca juga : Hotel Dekat Pantai Akkarena Makassar, Mulai 300 Ribuan
1. Berdirinya Pasar Gede
Pasar Gede terletak di jalan Jendral Sudirman dan Jalan Pasar Gede, tepatnya di perkampungan Pecinan yang bernama Balong, Kelurahan Sudiroprajan. Didirikan oleh Pakubuwono X di tahun 1923 dan selesai dibangun pada tahun 1930. Terdiri dari dua sisi, yaitu sisi timur yang menjual kebutuhan pokok dan sisi barat yang menjual buah-buahan dan kios-kios makanan.
Ir Thomas Karsten merupakan arsitek yang berasal dari Belanda dan menjadi alasn dibalik megahnya tempat ini. Tidak seperti pasar tradisional umumnya, walaupun berusia hampir satu abad namun masih tergolong bersih sehingga membuat pengunjung nyaman berbelanja di dalamnya. Diberi nama Pasar Gedhe karena bangunannya terdiri dari atap besar. Sedangkan nama Harjonagoro sendiri berasal dari K.R.T. Harjonagoro yang merupakan nama kepala Pasar Gede Solo yang pertama.
2. Dua kali hancur
Bangunan Pasar Gede telah dua kali mengalami renovasi karena serangan Agresi Militer Belanda di tahun 1947. Pada tahun 1999 tempat ini harus kembali direnovasi karena menjadi sasaran amuk masa yang marah karena tidak terpilihnya Megawati Soekarno Putri sebagai Presiden.
Renovasi ini masih mempertahankan struktur asli dan filosofi yang mendalam. Bahkan, sejak renovasi kedua bangunan Pasar Gede semakin keren bahkan tersedia fasilitas bagi difabel dan dinobatkan menjadi pasar terbaik se-Jawa Tengah.
3. Simbol toleransi di Solo
Selain saksi sejarah, Pasar Gedhe adalah simbol toleransi dan kerukanan antara Suku Jawa dan Tionghoa di Solo yang hidup rukun berdampingan. Pedagang di sini juga tidak hanya didomonasi oleh Etnis Tionghoa saja melainkan Etnis Jawa asli Solo juga banyak yang menggantungkan hidup di sini. Selain bisa berbahasa Jawa, banyak pedagang yang menguasai bahasa Mandarin.
Setiap momen imlek area Pasar Gedhe juga dihiasi ribuan lampion unik yang menjadi daya tarik wisatawan. Tidak hanya lampion bulat khas imlek, lampion berbentuk shio dan karakter wayang juga bisa Teman Traveler temui di area ini saat momen imlek.
Hardjonagoro yang menjadi nama belakang pasar ini adalah seorang Budayawan Jawa keturunan Tionghoa dengan nama asli Go Tik Swan yang merupakan keturunan Tionghoa pertama yang mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung dari Keraton. Oleh karena itu, pasar ini menjadi simbol harmonisnya berbagai etnis di kota Solo.
4. Belanja dan wisata kuliner
Selain menjual berbagai kebutuhan pokok. Teman Traveler juga bisa menemukan aneka oleh-oleh khas Solo dan berbagai kuliner lokal yang menggoda selera, seperti dawet telasih, es potong, dan aneka lenjongan.
Uniknya lagi bagian barat pasar terdapat warung yang menjual hidangan ala western yang bernama The French Press Kopi Warung. Tempat ini menjadi anomali tersendiri. Bagaimana tidak? Di tengah suasana pasar yang khas dengan nuansa lokal, tempat yang satu ini justru menjajakan hidangan ala bule dengan harga miring. Teman Traveler penasaran kan dengan pasar ini? Jika berkunjung ke Solo, jangan lupa mampir ya. Next