Raja Ampat selama ini dikenal dengan keindahan bahari dan alamnya yang asri. Namun tak banyak yang tahu bahwa penduduk sekitar punya tradisi khusus dalam menyambut para pelancong. Kebiasaan tersebut diwujudkan dalam Tari Suling Tambur.
Baca juga : Bazar Ramadan di Jakarta, Alternatif Buat Ngabuburit!
Tari Suling Tambur termasuk unik, lantaran dipopulerkan oleh dua orang asing penyebar Injil di Tanah Papua. Namun belakangan, tarian ini juga sekaligus menandai sambutan hangat penduduk setempat untuk wisatawan. Penasaran? Berikut pengalaman kontributor Travelingyuk, Suratman Larakuti, ketika merasakan penyambutan tersebut.
Dipopulerkan Penyebar Injil
Tari Suling Tambur merupakan salah satu tarian tradisional asal Raja Ampat. Para penarinya menggunakan seruling dan tambur untuk menghasilkan bunyi-bunyian. Uniknya, tradisi ini konon dipopulerkan oleh William Ottow dan Johan Gottlob Geissler, salah satu penyebar injil pertama di Papua.
Pemerintah Kabupaten Raja Ampat di Provinsi Papua Barat lantas menjadikan suling tambur sebagai salah satu daya tarik wisata. Mereka lantas menggelar Festival Suling Tambur di Pantai Waisai Torang Cinta (WTC). Perlahan, popularitas tarian ini mulai meningkat.
Tarian untuk Kebersamaan
Suasana kebersamaan benar-benar terlihat ketika Tari Suling Tambur digelar. Ada beberapa penari yang terlihat tak membawa suling, namun mereka tetap bergerak dengan semangat dan membuat bunyi-bunyian dengan bersiul. Penonton lantas ikut bersiul dan semakin memeriahkan suasana.
Perbedaan etnis dan ras terlihat cukup menonjol antara para pelancong dan penduduk asli Papua. Namun begitu tarian dimulai, semua turut bergoyang. Ini membuktikan bahwa pada dasarnya manusia itu sama, kita merespon hal yang sama hingga tertawa bersama.
Tarian Suling Tambur biasanya digelar sebagai penyambutan wisatawan yang berkunjung di Raja Ampat. Penari umumnya berusia dewasa namun demi menjaga agar budaya ini tetap lestari, anak-anak pun diajak ikut berpartisipasi.
Maksimal di Tengah Keterbatasan
Saudara-saudara kita di timur ternyata memanfaatkan hal-hal sederhana. Di tengah keterbatasan bahan menggambar corak hiasan khas Papua, mereka menggunakan kapur yang dicairkan. Warna putih menjadi kontras di tubuh mereka dan cukup elok dipandang.
Penampilan ceria anak-anak kala mempertunjukkan Tari Suling Tambur tak lepas dari peran guru mereka. Dari prosesi merias hingga pengarahan, semua dilakukan dengan sepenuh hati dan kesabaran oleh seseorang dengan panggilan Pace Joseph. Tak hanya menghibur, para penari dan semua penduduk Raja Ampat juga amat ramah pada para wisatawan – meninggalkan kesan hangat begitu mendalam.
Itulah tadi gambaran mengenai keindahan dan kehangatan yang tercipta dari Tari Suling Tambur. Jika ada Teman Traveler yang berkesempatan berkunjung ke sana dalam waktu dekat, pastikan untuk tidak melewatkan tarian unik tersebut. Next