Berbekal keinginan untuk maju dan kerja keras dari warga sekitar, Watu Payung Gunungkidul belakangan telah menjelma menjadi destinasi wisata memikat. Tak hanya sekedar menawarkan pemandangan alam yang mempesona, kawasan yang terletak di daerah Turunan ini berubah menjadi galeri seni alam berkelas Internasional.
Baca juga : Jelajah Museum Zoologi Frater Vianney, Belajar Tentang Hewan Versi Menyenangkan
Beberapa saat lalu Travelingyuk berkesempatan mengunjungi langsung destinasi di ujung barat Geopark Gunung Sewu ini. Dari Jogjakarta, kawasan konservasi hutan ini berjarak sekitar 27 kilometer. Dengan menggunakan kendaraan roda empat, bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam.
Berawal Dari Keterpurukan
Begitu sampai di kawasan Watu Payung, Travelingyuk langsung disambut Bagio, salah satu tokoh masyarakat setempat. Ia mengisahkan bagaimana mayoritas penduduk sekitar yang bekerja sebagai petani kayu mendadak kehilangan pekerjaan. Hal ini terjadi usai pemerintah menegaskan status kawasan Turunan sebagai hutan lindung.
Enggan menyerah dengan keadaan, warga lantas mencoba mengembangkan wilayah mereka menjadi wisata setempat. Beragam spot selfie dan gardu pandang mereka bangun, namun hasilnya kurang memuaskan. Watu Payung jarang dilirik wisatawan selama tujuh tahun terakhir.
Kolaborasi dengan Pandai Ruang
Di saat mulai kehabisan akal, warga Watu Payung lantas dipertemukan dengan Pandai Ruang. Komunitas seni pimpinan Wisnu Ajitama tersebut sebelumnya sukses meroketkan popularitas wisata Hutan Pinus Pengger, lewat karya ‘Tangan Raksasa’. Magis serupa diharapkan bisa kembali terulang di kawasan Turunan.
“Setelah itu kami mulai riset mengenai legenda, kultur kehidupan masyarakat sini. Bagaimana kehidupannya. Karena kami sifatnya swasembada, jadi kami lantas mulai gotong royong, kerja bakti (dengan warga-red),” tutur Ully Ashidiqi, Manajer Produksi Pandai Ruang yang ditemui Travelingyuk.
Galeri Alam Berkelas Internasional
Kerja sama Pandai Ruang dan warga Turunan akhirnya membuahkan sejumlah enviromental art, atau seni indah memanfaaatkan bahan dari lingkungan sekitar. Tema yang diangkat adalah antun tuntum atau berbagi kebaikan. Direpresentasikan dalam beberapa karya menarik berbahan serat kayu oblo.
Namun yang menjadi sorotan utama adalah karya berjudul Hasto Apsari, terinspirasi dari dongeng Jaka Tarub versi lokal. Delapan cabang yang ada di dalamnya melambangkan sifat dasar manusia dan juga spektrum warna.
Dengan hadirnya karya-karya indah tersebut, tak salah rasanya jika menyebut Watu Payung Turunan sebagai galeri seni alam. Apalagi Pandai Ruang sudah mendapat pengakuan Internasional dengan menerima undangan berkarya di Korea Selatan pada pertengahan tahun 2018.
Pesona Seni dan Kopi
Sentuhan seni tersebut terbukti efektif. Sejak karya mereka di Watu Payung diluncurkan secara resmi pada Mei 2018, jumlah kunjungan wisatawan meningkat drastis dari 4-5 orang per hari, menjadi ratusan dalam waktu sepekan. Ekspos di media sosial juga kian digalakkan, lantaran pengelolaan destinasi ini juga masih dibantu komunitas Pandai Ruang.
Hal tersebut diakui oleh Iwan Saputra, bendahara kelompok petani setempat. Bahkan untuk semakin menarik wisatawan, warga sekitar mulai berinisiatif mengangkat minuman unik kopi oblo. Kopi hitam hasil seduhan akar yang jadi bahan utama pembuatan karya Pandai Ruang.
“Salah satu (khasiatnya-red) menghangatkan badan dan fungsi-fungsi atau manfaat yang lain, seperti daya tahan tubuh semakin meningkat, dan masih banyak lagi sebenarnya,” tutur Iwan pada Travelingyuk.
Harga Terjangkau
Untuk bisa menikmati keindahan environmental art di Watu Payung, pengunjung hanya perlu membayar biaya parkir lima ribu dan tiket masuk tiga ribu rupiah. Sementara untuk kopi oblo dibandrol sekitar 5-7 ribu rupiah per gelasnya.
Berminat menyaksikan keindahan galeri alam berkelas Internasional di Gunungkidul? Langsung saja meluncur ke kawasan GeoForest Watu Payung Turunan yang ada di daerah Wonosari. Dijamin takkan mengecewakan. Next