Timor Tengah Selatan berada di Nusa Tenggara Timur. Kampung ini jauhnya sekitar 150 KM atau sekitar 4 jam dari Ibukota NTT ini, yaitu Kota Kupang. 3 jam perjalanan dilalui menggunakan bus dan jalanannya mudah diakses, kemudian dilanjutkan dengan 1 jam perjalanan untuk mencapai kampung atau desa, namun jalannya rusak. Saya harus melewati jalan yang memiliki banyak bebatuan kerikil dan bebatuan besar yang tak bisa dilewati oleh kendaraan beroda empat dan saya harus jalan kaki kurang lebih 30 menit. Di tengah perjalanan saya juga harus melewati 3 sungai kecil. Dimana pada sungai tersebut tak ada jembatan. Dan sekitar 30 menit perjalanan, akhirnya saya sampai di tempat tujuan saya. Ketika saya sampai keadaan di sini sangat sunyi, sangat jarang ada kendaraan.
Baca juga : Wah, Tulungagung Punya Wisata Religi dan Fotogenik Lho
Semenjak menginjakan kaki di kampung ini, saya merasa ini merupakan sesuatu hal yang sangat berbeda. Kampung ini tak ada polusi sama sekali. Udaranya pun masih sangat segar. Di pagi hari masih terdengar ayam berkokok dan ketika bangun. Saya seakan dijemput oleh kicauan burung yang sangat enak didengar oleh telinga saya. Saya mengunjungi kota ini karena salah seorang teman dekat perkuliahan saya, mengundang saya untuk menonton perayaan 17 Agustus di kampungnya. Pada saat 17 Agustus kota ini bisa terbilang cukup ramai karena semua orang berpartisipasi untuk merayakan perayaan kemerdekaan ini.
Di tempat ini budayanya masih sangat kental. Jenis perlombaan yang dilombakan juga sudah termaksud dalam adatnya. Misalnya bonet, natoni, menari oko mama untuk perempuan, menari maekat untuk laki-laki dan menari menari dan memukul gong, dan adanya juga lomba menyanyi lagu kemerdekaan Indonesia, perlombaan tenun untuk semua jenis usia. Saat mereka mengikuti kegiatan ini, semua diminta untuk berpakian adat masing-masing lengkap tanpa terkecuali.
Gambar di atas adalah salah satu perlombaan yang diadakan yaitu Bonet yang dilakukan oleh banyak orang. Dimana semua orang membuat lingkaran sambil bergandengan tangan yang erat. Setelah itu mulai menghentakan kaki dan mulai berputar sambil menganyi. Di dalam lingkaran ini ada orang yang memakai selendang, jika salendang itu dikasih kepada orang lain, maka orang tersebut harus masuk dalam lingkaran tersebut dan menari. Hal itu dilakukan terus menerus hingga lagu selesai. Menari ini juga harus seirama dan sesuai dengan lagu tersebut. Lomba ini dilakukan untuk mempererat tali persaudaraan.
Gambar di atas adalah jenis perlombaan tenun. Tenun lebih banyak dinikmati oleh orang tua atau anak yang sudah dewasa. Lomba tenun ini dilakukan agar sarung dan salendang tak punah di zaman semakin modern dan maju ini. Hasil tenunan ini juga untuk dijual dipasar. Harganya mulai dari kisaran Rp. 1.000.000. Tak heran jika harganya mahal, karena proses pembuatannyan juga tidak mudah.
Tak hanya orang tua, anak kecil pun ikut berpartisipasi dalam kegiatan lomba ini. Misalnya menari tarian oko mama. Tarian oko mama ini biasanya dilakukan untuk penerima tamu. Akan tetapi, lomba ini tetap mengangkat budaya agar tetap dijunjung ditinggi dari kecil. Tarian ini biasanya dilakukan dari 4 hingga 10 orang. Dengan membuat 2 barisan memanjang. Tarian ini biasanya dilakukan dengan mengenakan sarung lengkap (pakaian adat), selendang dan rambut dikonde atau disanggul. Dan tarian ini biasanya dengan kaki kosong (tanpa alas kaki) atau tak memakai sandal bahkan sepatu.
Tarian Maekat biasanya dilakukan oleh laki-laki. Tarian ini biasanya menggunakan parang (pedang). Tarian ini juga dilakukan tanpa kehadiran alas kaki dan memakai sarung, pilu (giring-giring yang biasa dipakai dikaki), alu kosu (tas yang berisi siri pinang). Tarian ini diiringi dengan pukulan gong dan tambun (alat musik).
Natoni biasanya dilakukan juga dengan menggunakan pakaian adat. Kegiatan ini dilakukan dengan bahasa yang berbeda dengan cara yang berbeda. Natoni ini biasanya salah seorang laki-laki berbicara lebih dulu dengan nada yang cepat dan datar, setelah itu diikuti dengan belasan orang yang membalas kata inti, yang telah diucapkan terlebih dahulu dengan nada datar pula.
Perayaan kemerdekaan 17 Agustus sini memang sangat seru dan di tempat ini saya juga belajar banyak hal yakni kita harus saling bertukar satu sama lain sambil saling tak kenal, saling menegur di jalan bila kita menjumpai orang, kebersamaan yang tanpa memandang derajat orang lain. Saling membantu, saling menolong, saling menopang satu sama dengan yang lain. Bila di kota banyak orang sibuk dengan urusan pribadi mereka sendiri, di tempat ini malah mereka malah berbagi bersama orang lain. Di sini, hampir semua orang saling kenal, karena semua orang saling mengenal, saling membantu.
Itulah ulasan mengenai wisata budaya di Timor Tengah Selatan berdasarkan pengalaman salah satu kontributor Travelingyuk, yaitu EKaristik Bana. Bila kalian mengunjungi NTT jangan lupa mampir di Kabupaten Timor Tengah Selatan ini ya, agar Teman Traveler mendapat nilai budaya dan moral yang sulit dijumpai dimana pun. Selamat berwisata budaya, Teman Teman Traveler! Next