Bali sudah lama terkenal sebagai salah satu destinasi liburan favorit. Tak heran jika beberapa budaya luar perlahan mulai diadaptasi oleh para warga Pulau Dewata. Nyatanya, di sini masih ada desa klasik di mana para warganya benar-benar menjalankan hidup secara tradisional. Seolah tak terpapar oleh budaya luar, kehidupan Desa Tenganan Bali konon benar-benar menggambarkan budaya pulau ini yang sesungguhnya.
Baca juga : Learn to Ride a Horse at the Instagramable Ganesha H Equestrian
1. Salah Satu Desa Tradisional Terakhir
Tenganan merupakan salah satu desa tradisional terakhir yang ada di Bali dan biasa mendapatkan sebutan ‘Bali Aga’ atau ‘Bali Asli’. Nama Tenganan sendiri dipercaya berasal dari kata ‘tengah’ atau ‘ngatenghang’, atau kurang lebih bermakna pindah ke tengah.
Para penduduk di desa ini masih memegang teguh adat istiadat tradisional Bali, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun ritual beragama. Selain itu, para warga yang meninggalkan Desa Tenganan, tidak akan diperkenankan kembali. Hal ini juga berlaku untuk pasangan para warga asli yang menikah dengan warga luar desa. Aturan ini dikenal dengan nama awig-awig.
Hanya penduduk Bali Aga yang boleh tinggal di sini, yaitu mereka yang benar-benar lahir di Desa Tenganan. Total, ada kurang lebih 400 orang bermukim di daerah yang terletak hanya satu jam perjalanan dari Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai ini.
2. Legenda Asal-usul Desa Tenganan
Berdasarkan cerita rakyat populer, pada zaman dahulu Raja Bedahulu kehilangan salah satu kudanya. Semua orang bingung mencari hingga akhirnya Ki Patih Tunjung Biru, tangan kanan Sang Raja, menemukan kuda tersebut sudah tewas.
Sebagai hadiah atas kesetiaannya, Raja memberikan Ki Patih Tunjung Biru hak untuk menguasai wilayah sejauh aroma busuk dari kuda kesayangannya yang tewas itu tercium. Ki Patih kemudian bersiasat dengan memotong-motong tubuh kuda dan menyebarkannya sejauh mungkin hingga ia mendapat wilayah luas. Wilayah yang dipimpin oleh Ki Patih inilah yang kemudian dipercaya menjadi cikal-bakal Desa Tenganan.
3. Kain Tenun Pegringsingan
Desa Tenganan juga identik dengan Pegringsingan. Kata Pegringsingan diambil dari kata ‘geringsing’. Geringsing sendiri merupakan tenunan kain tradisional yang hanya bisa ditemukan di Tenganan. Geringsing dianggap sebagai benda suci karena dinilai memiliki kekuatan untuk mengusir roh jahat maupun pengaruh ilmu hitam. Geringsing konon berasal dari kata gering yang artinya meninggal dan sing yang artinya tidak.
4. Desa Tenganan Tidak Rayakan Nyepi
Tidak seperti wilayah Bali lainnya, para warga di Desa Tenganan memilih untuk tidak merayakan Nyepi. Sebagai desa Bali Aga, tempat ini tidak mendapat pengaruh dari Kerajaan Majapahit, sehingga para warganya juga tidak merayakan Galungan dan Kuningan. Selama Hari Raya Nyepi, orang-orang di Tenganan akan tetap beraktivitas seperti biasanya dengan api menyala. Namun untuk menghormati warga Bali lainnya, mereka membatasi diri dengan tidak melakukan aktivitas di luar desa.
Para penduduk di sini juga tidak mengenal tradisi ngaben, atau kremasi tubuh orang setelah meninggal. Mereka yang menghembuskan nafas terakhirnya di Desa Tenganan akan langsung dikubur di hari yang sama saat kematiannya. Bagi Anda yang tertarik untuk menyimak kebudayaan Pulau Dewata yang sesungguhnya, sangat disarankan untuk berkunjung ke tempat ini. Next