Kintamani di Bali mempunyai beragam objek wisata dengan udara pegunungan berhawa sejuk. Letaknya saja di atas ketinggian sekitar 1500mdpl. Teman Traveler akan disuguhi keindahan Gunung dan Danau Batur. Selain itu, ada juga wisata budaya yaitu Dusun Lampu, tepatnya berada di Desa Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali. Yuk, lihat lebih dekat seperti apa keindahannya.
Baca juga : Nggak Harus ke Luar Negeri, Libur Natal dan Tahun Baru di Dufan Tawarkan Ragam Atraksi Menyenangkan!
Perjalanan Menuju Dusun Lampu Bali
Salah satu wisata Bali yang ingin saya kunjungi di akhir tahun 2018 adalah Dusun Lampu. Hal menarik di sini adalah terdapat perbedaan budaya, agama, adat, dan suku tetapi semua menyatu dengan harmonis. Terbukti saat saya melewati persimpangan sebelum memasuki dusun ini, terdapat tulisan “Akulturasi Budaya”. Ah, saya semakin tidak sabar untuk segera sampai di rumah keluarga teman dan berkeliling di sekitarnya.
Sesampainya di Dusun Lampu saya disambut oleh hujan deras dan angin kencang. Ya, hal itu biasa terjadi di daerah dataran tinggi seperti Kintamani. Alhasil baju yang kami kenakan dan carrier pun ikut basah. Begitu sampai rumah, kami langsung membongkar isi carrier supaya bisa menjemur baju-baju yang basah.
Kisah Dibalik Dusun Lampu
Jam menunjukkan pukul 16.30 WITA, hawa semakin dingin, hujan pun tak kunjung reda. Saya memutuskan untuk berbincang saja dengan pemilik rumah, biasa dipanggil Mpek dan istinya, Ahko. Sepasang suami istri dengan satu anak tersebut tinggal di Dusun Lampu sudah lebih dari 20 tahunan. Beliau menceritakan kisah transmigrasinya dulu dari Taiwan menuju Bali.
Mereka adalah salah satu dari sekian banyak keluarga suku Tionghoa yang tinggal puluhan tahun di Dusun Lampu, Bali. Dari awal mereka tinggal di dusun ini, lebih banyak merasakan suka daripada duka. Seperti yang sudah saya katakan di awal.
Saya pribadi salut dan bangga terhadap warga Bali, terlebih masyarakat Dusun Lampu karena sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Bahkan agama pun sudah menyatu dengan adat dan tidak bisa dipisahkan.
Masyarakat pendatang tidak pernah merasa dipaksa untuk merayakan hari raya dan menjalankan ritual-ritual Hindu setiap hari. Mereka melakukannya dengan kemauan sendiri untuk berbaur dan beradaptasi.
Janur dan Penjor Penghias Jalan Raya
Warga asli Tionghoa tetap bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan warga asli Bali. Walaupun mereka tetap menganut agama asli yaitu Buddha, tetapi setiap hari tetap mengikuti ritual-ritual adat Hindu.
Di antaranya menyiapkan sesajen, membuat janur, dan mengikuti semua kegiatan saat hari besar umat Hindu. Percampuran dua budaya ini terlihat jelas dengan adanya pura kecil di depan rumah dan juga lampion yang digantung di depan salah satu ruangan di rumah ini.
Saya sangat senang ketika berkunjung ke Bali bertepatan dengan Hari Raya Kuningan. Sepanjang jalan yang saya lewati dipenuhi dengan janur-janur dan penjor. Saya terhipnotis dengan keindahan janur-janur yang melengkung di pinggir jalan, sampai-sampai saya lupa mengabadikan dalam bentuk video. Tetapi saya tidak lupa untuk mengabadikannya lewat foto.
Dusun Lampu Punya Keindahan Menakjubkan
Ketika berkunjung ke tempat ini, saya juga disuguhi pemandangan bukit-bukit yang sangat indah. Saya merasa makin berat untuk meninggalkan dusun ini. Menginat betapa suasananya sejuk, asri, dan masih sepi. Membuat saya betah berlama-lama untuk tinggal. Jauh berbeda dengan wilayah lain di Bali yang sudah cenderung ramai oleh wisatawan.
Di sini saya menemukan kedamaian, ketenangan, dan kerukunan yang diciptakan oleh warga asli dan transmigran. Membuat waktu 2 hari saya terasa lebih bermakna dan bisa mempelajari banyak hal.
Sebuah kutipan dari Tjwa Hok Buan; nama asli dari Mpek yang akan saya ingat dan terkenang sepanjang hidup adalah berbeda tapi harmonis. Bagaimana, tertarik berkunjung ke desa ini juga? Next