Sejarah tak hanya ditorehkan lewat perjuangan yang berdarah-darah, tapi juga rasa lezat yang mantap di lidah. Begitulah Mbah Lindu, penjual gudeg di Jogja yang tak lekang oleh waktu. Gudeg Mbah Lindu yang ia buat dengan tangannya sendiri akan membuatmu dirundung segala rasa. Puas, kagum, sedih, juga bangga. Bagaimana perjalanan Mbah Lindu? Travelingyuk akan memberikan ulasannya.
Baca juga : Siblarak, Wisata Air Anyar Klaten yang Bikin Penasaran
Penjual Gudeg Tertua di Jogja
Mbah Lindu tak lagi muda, umurnya saja hampir seabad. Tubuh sudah tidak selihai dulu, berjalan pun terkadang harus sangat pelan. Kulitnya keriput dan suara khasnya bisa membuatmu teringat dengan orang-orang tersayang di rumah. Namun kesetiaannya untuk berjualan gudeg adalah penyulut bara semangat generasi muda. Bahwa kuliner tradisional harus dipertahankan. Itulah kebanggaan kita sebagai anak bangsa.
Berjualan Sejak Umur 13 Tahun saat Penjajahan Belanda
William Wongso, seorang pakar kuliner dalam sebuah video memberikan pendapat-pendapatnya tentang sosok Mbah Lindu. Dalam video tersebut nenek yang bernama asli Setya Utomo tersebut mengaku telah ikut berjualan gudeg sejak umur 13 tahun. Saat itu Indonesia belum merdeka, Belanda dan Jepang masih menjarah dengan membabi buta. Tak terbayang bagaimana susahnya waktu itu, Mbah Lindu bertahan melewati berbagai zaman.
Sempat Menggunakan Mata Uang Sen
Beliau bahkan sempat menggunakan mata uang benggol dan sen. Di zaman itu, satu sen cukup untuk membeli empat hingga lima bungkus nasi gudeg. Kalau sekarang, kamu bisa beli kuliner khas Jogja buatan Mbah Lindu ini dengan harga sekitar Rp15.000 hingga Rp20.000. Murah dan kamu akan merasakan sedang ada Jogja tempo dulu. Memang, Mbah Lindu sengaja tidak mengubah resep dan meracik bumbu-bumbu dengan tangannya sendiri selama puluhan tahun.
Mbah Lindu Bekerja untuk Membahagiakan Keluarga
William Wongso juga bercerita bahwa melalui racikan tangan Mbah Lindu inilah orang-orang luar negeri yang semula menganggap gudeg yang disajikan langsung tangan itu kurang higienis jadi suka dan ketagihan. William mengaku miris, bahkan siapapun yang melihatnya juga akan sedih. Bagaimana tidak, di umurnya yang lebih dari 90 tahun Mbah Lindu masih bekerja memasang sendiri kayu bakar dan menghadang panas yang keluar dari perapian. Tapi memang Mbah Lindu adalah orang yang bersemangat dan tidak ingin merepotkan anak cucunya. “Mbah umur segini masih sehat, masih bisa jualan,” begitu yang ada di benak Mbah Lindu.
Semangat dari Mbah Lindu bisa menjadi tamparan apabila kita malas-malasan. Juga menjadi lecutan untuk memperhatikan warisan budaya. Karena sekarang juga ada banyak makanan-makanan yang terancam punah karena tidak ada yang meneruskan berjualan. Mari kita doakan agar Mbah Lindu diberikan kesehatan dan umur panjang, agar warisannya tak lekang oleh zaman. Next