Mendaki gunung menjadi salah satu olahraga yang tidak sekadar menyehatkan badan, tetapi juga menjadi bentuk kecintaan manusia pada alam. Olahraga yang semakin populer belakangan ini kemudian banyak dijadikan sebagai hobi bagi para pecinta olahraga yang memacu adrenalin. Beruntungnya, Indonesia memiliki sangat banyak gunung untuk didaki. Gunung Papandayan menjadi salah satu pilihan yang tepat bagi Teman Traveler yang tertantang untuk mendaki tetapi belum memiliki cukup pengalaman!
Baca juga : Penemu Ayam Geprek Ternyata Ada di Jogja, Ini Buktinya
Gunung Papandayan terletak di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Gunung ini memang sering menjadi gunung yang didaki oleh pendaki pemula. Jalur dan medan yang tidak begitu sulit, serta puncak yang tidak terlalu tinggi yaitu 2.665 mdpl, menjadi alasan mengapa gunung ini menarik.
JAKARTA MENUJU GARUT
Saya dan 7 teman saya lainnya berangkat dari Jakarta. Kami berkumpul di Terminal Cililitan untuk naik Bus Primajasa pukul 05.00 WIB. Dengan harga Rp55.000, kami bisa sampai Terminal Guntur, Garut dengan nyaman dan selamat. Sayangnya, Jakarta – Garut yang seharusnya hanya ditempuh dalam waktu 5 jam saat itu terpaksa kami lalui selama 10 jam karena jalur biasa sedang diperbaiki. Jadi, harus melewati jalan lain yang lebih kecil, penuh bus, truk, dan jalan yang cukup parah. Cukup membuat lelah dan gelisah karena sebenarnya jadwal sudah kami atur sedemikian rupa.
Awalnya kami merencanakan pukul 10.00 sampai Terminal Garut, makan dan istirahat, dan pukul 12.00 kami mulai mendaki agar sampai camp tidak terlalu larut. Kami membuat jadwal ini berdasarkan hasil browsing kami di berbagai website. Namun, pukul 15.00 barulah kami sampai di terminal. Kami mengambil beberapa kebutuhan seperti tenda dan sleeping bag yang sebelumnya sudah kami booking melalui Whatsapp di sekitar terminal (banyak tempat persewaan alat pendakian di sana).
GANTI-GANTI KENDARAAN KE AWAL PENDAKIAN
Setelah mengisi perut di sebuah warteg terminal, kami naik angkot menuju titik awal pendakian. Kami diminta Rp150.000 untuk satu angkot. Kami berdelapan patungan untuk membayar angkot tersebut. Perjalanan cukup panjang, sekitar 30 menit.
Awalnya, kami kira angkot tersebut membawa kami ke gerbang pendakian. Namun, ternyata tidak! Kami hanya diantar hingga gerbang bawah Gunung Papandayan, masih jauh dari gerbang pendakian. Alasannya, angkot tersebut tidak kuat untuk naik hingga ke gerbang pendakian. Kami pun masih perlu naik ojek atau mobil untuk naik lagi ke gerbang pendakian. Kami memilih naik mobil karena harganya kurang lebih sama jika dibandingkan naik ojek. Kami merogoh kocek Rp200.000 untuk ke Pos I. Cukup mahal memang.
MEMULAI DARI CAMP DAVID
Camp David menjadi titik awal pendakian kami setelah membeli tiket seharga Rp65.000. Tiket tersebut berlaku untuk menginap satu malam di area Gunung Papandayan.
Dari situ, barulah sekitar pukul 18.00 kami mendaki diiringi hujan rintik yang tidak kunjung berhenti. Untungnya, saat itu ada seorang petugas yang juga hendak naik ke camp tempatnya bertugas malam itu. Jadi, kami mendaki bersama.
Mendaki malam membuat tubuh tidak terlalu merasakan lelah. Udara sejuk, bahkan dingin karena ditambah hujan. Sesekali licin. Namun, medan yang kami lalui kebanyakan adalah bebatuan dan ada batang-batang pohon yang masih tumbuh di pinggirnya, membuat kami memiliki pegangan mendaki. Semakin tinggi, tekanan udara semakin membuat hidung dan tenggorokan kering pula.
Beberapa kali kami istirahat hingga akhirnya sebelum pukul 22.00 kami berhasil sampai di camp Gober Hut. Sebagai informasi, terdapat dua camp yang biasa digunakan pendaki untuk mendirikan tenda. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Camp Gober Hut sangat cocok bagi Anda yang ingin melihat sunrise langsung ketika membuka tenda di pagi hari walaupun sifatnya untung-untungan juga, hehehe. Namun, kebanyakan pendaki lebih memilih mendirikan tenda di camp Salada. Tempatnya lebih luas dengan tanah yang lebih rata, juga menawarkan lebih banyak pemandangan indah.
BANYAK WARUNG?
Soal logistik, jangan khawatir. Gunung Papandayan identik dengan gunung untuk pemula. Tak heran, tersedia beberapa warung yang menjual minuman, snack, gorengan, hingga nasi goreng! Aneh memang awalnya, mosok di gunung ada warung? Toilet pun tersedia!
Selain di sekitar camp, beberapa warung juga tersedia di jalur pendakian. Karenanya, kita bisa beristirahat sejenak ketika lelah mendaki. Gorengan dan teh manis, ditemani ibu-ibu warung, bisa membantu kita melarutkan pegal-pegal.
Kalau memang kekeuh tidak mau membeli makanan di warung, Teman Traveler juga bisa memasak di depan tenda. Yang penting, hati-hati, ya! Jangan lupa juga untuk membuang sampahnya.
Esoknya, kami bangun pagi-pagi demi melihat sunrise. Sayangnya, ternyata tetap saja sunrise kurang jelas dipandang. Hari itu kami sangat ingin ke puncak, tetapi menurut informasi dari petugas yang naik bersama kami malam itu, puncak Gunung Papandayan sudah tidak jelas jalurnya.
Untungnya, masih ada puncak semu di ketinggian 2.662 mdpl, 3 mdpl lebih rendah dari puncak aslinya. Itu pun kami harus didampingi oleh petugas keamanan karena jalurnya memang kurang jelas. Jalur yang dilalui untuk menuju puncak semu tidaklah mudah. Diperlukan kehati-hatian karena beberapa titik sangat terjal dan licin. Jangan lupakan kerjasama, ya!
Selama menuju puncak semu, kami bertemu banyak pemandangan indah. Salah satunya adalah Tegal Alun. Tempat ini merupakan tempat tumbuhnya edelweiss yang sangat luas dan indah! Jangan lupa sempatkan berfoto ria jika mengunjungi Tegal Alun. Yang perlu diingat, jangan coba-coba memetik satu tangkai pun bunga edelweiss yang ada ya!
Ada pula hutan mati. Pohon-pohon tandus yang terkena letusan beberapa tahun silam ini juga menarik untuk menjadi objek foto!
Walaupun terbilang cukup mudah, tetap jangan sepelekan pendakian Gunung Papandayan, ya. Teman Traveler tetap harus berhati-hati dan menjaga diri dengan baik. Persiapkan diri dengan baik dan bawa turun sampahnya, ya! Selamat mendaki! Next