Seperti halnya Jakarta dan Semarang, Surabaya juga memiliki kota tuanya sendiri. Namun berbeda dengan keduanya, Kota Tua Surabaya belum begitu diminati sebagai salah satu destinasi wisata minat khusus di kota Surabaya. Penasaran seperti apa? Yuk ikuti perjalanan di Surabaya.
Baca juga : Tak Hanya di Pasuruan, Ini Masjid Cheng Ho yang Tersebar di Indonesia
Tiga Kampung di Surabaya
Sesampainya di stasiun Surabaya Kota, saya melangkahkan kaki ke luar, dengan hanya mengandalkan google maps menuju pusat perbelanjaan Pasar Atom Surabaya yang sudah ada sejak tahun 1972. Dari sana, perjalanan mengelilingi kota tua Surabaya dimulai.
Kota Surabaya juga dikenal sebagai salah satu kota pelabuhan yang tersohor sejak zaman dahulu, sama seperti Semarang dan Jakarta. Lokasinya yang sangat strategis, menjadikan Surabaya begitu ramai penduduk, baik warga lokal maupun para pedagang.
Khusus untuk para pedagang di Surabaya, mereka kemudian mendirikan kampung-kampung sesuai daerah asal mereka. Karena itu di kota tua Surabaya dikenal memiliki tiga kampung yaitu kampung eropa, kampung arab, dan kampung cina.
Sejarah Kota Tua Surabaya
Kota Surabaya tidak akan bisa hidup seperti sekarang tanpa bantuan Kali Mas, sebuah sungai yang membelah kota. Kali Mas bermuara di Laut Jawa dan menjadi jalur masuk bagi kapal-kapal pedagang yang akan singgah di Surabaya.
Kala itu, VOC, penguasa kota Surabaya membagi wilayah di sekitar Kali Mas menjadi dua memisahkan antara penduduk dari Eropa dan Asia non Pribumi. Masing-masing kemudian membangun wilayahnya dengan segala rupa bangunan sesuai dengan gaya arsitektur masing-masing.
Pembangunan ini berjalan masif, sehingga wilayah sekitar Kali Mas semakin ramai. Di sinilah awal mula dikenal sebagai Kota Tua Surabaya.
Letak Kota Tua Surabaya
Kota tua Surabaya terbagi menjadi tiga bagian kawasan Eropa, pecinan, dan arab. Kawasan Eropa di kota tua Surabaya berada di sekitar jembatan merah yang ditengarai dengan banyaknya bangunan-bangunan megah bernuansa Eropa lama.
Selain itu masuk ke dalam Jalan Gula, Jalan Karet, dan Jalan Panggung untuk melihat lorong-lorong kota tua Surabaya. Tak hanya itu, di jalan rajawali dan jalan bongkaran, dekat pasar atom dan stasiun Surabaya Kota juga ada banyak bangunan-bangunan tua bersejarah.
Di kawasan pecinan, terkonsentrasi di jalan kembang jepun yang berbatasan dengan Jalan Panggung. Ada banyak sekali bangunan yang menggunakan gaya arsitektur Tionghoa di sini, termasuk beberapa klenteng.
Bergeser ke daerah ampel yang banyak ditinggali oleh orang-orang keturunan bangsa Arab dan India. Di sini memang tidak terlalu
tampak bangunan yang berciri, namun ada banyak sekali masjid dan tentu saja kuliner khas Arab dan India seperti nasi briyani dan kebab.
Bangunan Bersejarah di Kota Tua Surabaya
Selain pasar atom dan stasiun Surabaya Kota, ada banyak sekali bangunan-bangunan bersejarah di kawasan kota tua Surabaya. Menyusuri lorong dan gang-gang kecil, mengamati kegiatan masyarakat Surabaya saat itu, dan bertemu dengan beberapa bangunan tua. Bangunan-bangunan itu sebagian masih difungsikan, sebagian lagi telantar.
Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria
Saya melanjutkan langkah kaki menuju gereja tertua yang masih digunakan di Surabaya, Gereja Katolik Kelahiran Santa Perawan Maria. Dibangun dari hasil desain W. Westmass saat itu pembangunannya membutuhkan waktu selama satu tahun mulai tahun 1899 hingga selesai pada tahun 1900.
Dari luar, tampak gereja ini sangat megah, dengan tumpukan batu bata berwarna coklat dan kaca-kaca yang seakan seperti di film-film yang berlatar kehidupan kuno Eropa. Sayang kesempatan memasuki gereja untuk melihat-lihat terlewatkan.
Selain mengagumi karya megah arsitektur, jangan lupa menikmati kuliner-kuliner di foodcourt yang berada di depan gereja, selain enak dan halal juga murah dan porsinya banyak.
Gedung Bank Mandiri
Dari luar, bangunan hasil desain seorang arsitektur bernama Marius J. Hewitt tahun 1928 ini sangat kental dengan gaya Art Deconya. Di dalam, interiornya juga masih belum diubah dari sejak pertama dibangun. Beberapa jendelanya menggunakan kaca-kaca yang artistik.
Sementara di dinding dekat dengan tangga, terdapat beberapa lambang kota-kota di Indonesia pada zaman dahulu. Museum Bank Mandiri menyimpan banyak benda-benda klasik seperti disket, mesin ketik, mesin kasir, hingga beberapa foto yang menampilkan potret Kota Surabaya saat itu.
Selain lambang kota-kota di Indonesia, satu yang paling menarik perhatian adalah keberadaan sejumlah uang lama yang ditinggalkan oleh nasabahnya. Hingga kini, gedung bank ini dimiliki dan juga masih digunakan secara aktif oleh Bank Mandiri.
De Javasche Bank
De Javasche Bank merupakan bank sentral yang dalam fungsinya lebih banyak sebagai pengawasan peredaran uang, seperti Bank Indonesia saat ini. Gedung De Javasche Bank di Surabaya berdiri pada tahun 1829 namun sempat direnovasi pada tahun 1900an, karena dianggap kuno.
De Javasche Bank menyimpan beragam mesin-mesin percetakan uang kuno. Selain itu terdapat pula beberapa simpanan uang rupiah yang terbit pada zaman dahulu. Gedung yang dimiliki oleh Bank Indonesia ini sudah tidak lagi difungsikan sebagai bank dan lebih banyak dipakai oleh anak-anak muda Surabaya menjadi spot berfoto.
Dua Wajah Kota Tua Surabaya Kini
Perjalanan saya lanjutkan menyusuri trotoar besar hingga sampai di jalan panggung yang terletak bersebelahan dengan jembatan merah, Saya terpukau dengan beberapa bangunan peninggalannya yang berwarna-warni.
Jalan panggung mulanya dikenal sebagai kampung melayu dengan desain rumahnya bergaya art-nouveau memiliki warna-warna natural seperti rumah-rumah pada umumnya. Bangunan-bangunannya juga tampak sangat berbeda dibanding desain rumah di kawasan pecinan atau kampung Eropa.
Rupanya pihak Pemerintah Kota Surabaya sedang dalam tahap merevitalisasi jalan ini, terlihat dari beberapa jalannya sudah diganti menjadi paving sehingga akan menambah romantisme di kawasan heritage ini.
Lampu-lampu penerang jalannya juga masih sangat baru dengan gaya klasik, rumah-rumah dicat warna-warni, menjadi sangat kontras dan menarik mata.
Lepas dari jalan panggung, saya menyeberang melewati Jalan Karet dan menuju jalan gula. Kesan yang saya dapatkan berbanding terbalik 180 derajat dari jalan panggung. Suasana vintage masih sangat terasa di Jalan Gula. Dinding-dinding bangunan masih dipertahankan seperti aslinya.
Bahkan beberapa bagian tampak akar-akar pohon menggelayuti dinding-dinding seakan menyiratkan kondisi yang kurang terawat. Tangga yang terbuat dari kayu dibiarkan begitu saja tanpa takut keropos. jalan gula semula menjadi kawasan perdagangan yang ramai, dengan pusatnya adalah sebuah pabrik rokok di dalamnya.
Karena sudah tidak digunakan lagi, bangunan pabrik rokok kemudian terbengkalai bertahun-tahun. Namun kini Jalan Gula lebih banyak digunakan oleh anak-anak muda dan beberapa pasangan di Surabaya untuk menggelar sesi foto dengan gaya vintage, berlawanan dengan jalan panggung yang lebih berwarna-warni.
Menjelajah Kota Tua Surabaya seakan tidak akan pernah cukup untuk dihabiskan dalam waktu sehari. Kawasan yang memiliki banyak sekali gedung-gedung bersejarah ini seperti menyimpan memori-memori sejarah Kota Surabaya.
Sayangnya, kawasan ini belum sepopuler Kota Tua Jakarta atau Kota Lama Semarang. Harapannya, dinas pariwisata terkait lebih melirik Kota Tua Surabaya yang berpotensi mendatangkan banyak wisatawan. Jadi yuk datang ke Kota Tua Surabaya. Next