Mendaki gunung sangat populer di kalangan pemuda Indonesia sejak 80-an. Bahkan Presiden Jokowi pernah melakukan pendakian ke Gunung Kerinci bersama MAPALA UGM. Kini, mendaki masih menjadi favorit. Di Instagram misalnya, banyak akun mengunggah foto-foto pendakian. Tapi, kira-kira apa ya bedanya pendaki tahun 80-an dengan pendaki kekinian?
Baca juga : Restoran All You Can Eat di Bandung, Bakal Puas Makan
Dulu ada anekdot bahwa MAPALA adalah singkatan dari ‘Mahasiswa Paling Lama’ alias mereka yang tak kunjung lulus. Mayoritas mereka berambut gondrong, walaupun yang gondrong belum tentu anggota MAPALA. Tak bisa dipungkiri penampilan mereka yang seperti itu tidak lepas dari pengaruh tren pada tahun tersebut. Bagaimana dengan pendaki kekinian? Beda generasi tentunya beda gaya dong. Pendaki saat ini, kebanyakan lebih sering terlihat rapi. Mereka lebih memilih rambut yang klimis dan memperhatikan kebersihan badan.
Dulu mayoritas pendaki adalah laki-laki, walau ada juga beberapa pendaki perempuan. Sangat bertolak belakang dengan saat ini, dimana perempuan memiliki minat yang lebih besar terhadap pendakian. Di media sosial, kamu bisa menemukan banyak pendaki yang cantiknya mengalahkan pemandangan Ranu Kumbolo. Kamu salah satunya? Semangat ya mendakinya.
Entah pendaki perempuan atau laki-laki tidak menjadi masalah sebab semua orang berhak menekuni hobinya. Yang patut diperhatikan adalah menjaga gunung agar tetap asri dan terawat. Dulu gunung adalah kawasan yang sakral dan dijaga kebersihannya hingga pendaki lebih memilih membawa sampahnya turun. Sayangnya, saat ini sebagian pendaki tidak lagi mengutamakan hal tersebut. Bahkan menurut data Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, dalam sehari seorang pengunjung membuang 0.5 kilogram sampah. Apa jadinya jika dalam satu hari ada 100 pengunjung?
Upaya menjaga lingkungan gunung pun bermacam-macam, tidak hanya dengan membawa sampah kembali turun tapi juga dengan tidak merusak. Seperti beberapa pendaki di Gunung Rinjani yang memetik edelweiss dan percaya diri ber-selfie dengan bunga langka tersebut. Dokumentasi perjalanan sebenarnya juga perlu sih, tapi harus tetap tahu aturan ya.
Jika sekarang kita sudah bisa selfie dengan kamera smartphone, dulu bagaimana ya mereka mendokumentasikan perjalanan mereka? Jangankan smartphone, memiliki Nokia 3310 saja telah menjadi anugerah yang luar biasa. Biasanya mereka menggunakan tustel walau mereka tidak bisa jeprat-jepret secara bebas. Sebab mereka masih memotret menggunakan roll film yang hanya dapat mengambil 36 foto.
Vegetasi berubah, generasi berganti. Meski begitu, pendaki 80-an dan kekinian tetap memiliki semangat bertualang yang sama. Semoga tak semangatnya saja yang dijaga, tapi lingkungannya juga. Next