Mendaki gunung bukanlah hal baru bagi saya. Sejak masih duduk di awal bangku kuliah dulu saya sudah jatuh cinta dengan ketinggian, pada dingin yang menusuk tulang, pada persahabatan tulus yang terbungkus dalam hangatnya tenda. Berikut adalah perjalanan mencapai Sabana 1 Gunung Merbabu.
Baca juga : Mendaki Bareng Pasangan, ke Gunung Ini Saja!
Simaksi Online Gunung Merbabu
Sejak Gunung Merbabu dibuka pada tanggal 21 Juni 2019, antrian para pendaki sudah membludak. Apalagi semenjak Pengelola Taman Nasional Gunung Merbabu menerapkan sistem pendaftaran atau yang biasa disebut dengan Simaksi melalui jalur online. Dengan sistem pendaftaran melalui online ini, para pendaki harus mendaftarkan diri melalui situs https://tngunungmerbabu.org/simaksi/.
Ada beberapa formulir yang harus kalian isi dan daftar barang-barang apa saja yang boleh kalian bawa juga sudah tertulis di website tersebut. Nanti ketua tim pendakian akan diberikan gelang berwarna oranye yang telah dilengkapi dengan fasilitas chip dimana Petugas TNGM akan mengetahui posisi terkini kalian jika kalian salah jalur atau hilang.
Hari H Pendakian ke Sabana 1 Gunung Merbabu via Selo
Pada tanggal 23 Juni 2019 yang lalu, persis 2 hari setelah Jalur Pendakian Gunung Merbabu dibuka, saya dan kawan-kawan mendaki Gunung Merbabu melalui jalur Selo. Memang sudah lama kami mengincar Sabana Gunung Merbabu yang terkenal dengan keindahannya itu.
Kami berenam dan kebetulan saya adalah satu-satunya wanita di tim kami yang kebetulan juga dijadikan ketua tim pendakian. Kawan-kawan saya ini sudah menjadi partner yang cocok dalam mendaki gunung. Sudah lebih dari 5 gunung kami mendaki bersama, dan sudah mengerti kelemahan dan kelebihan masing-masing.
Pada pendakian kali ini target kami memang bukan Puncak Ketheng Songo ataupun Puncak Syarif, karena kami semua sudah pernah sampai di sana hanya saja waktu itu kami melalui jalur Wekas.
Kali ini kami hanya ingin menghabiskan waktu di Sabana 1, berjalan santai atau pelan, lebih banyak beristirahat selama perjalanan dan memilih mendaki di siang hari karena kami ingin menikmati gagahnya Gunung Merapi di seberang Selatan Gunung Merbabu.
Selalu ada Cerita di Setiap Pendakian
Tuhan mendukung kami siang itu, selama perjalanan langit sangat cerah sehingga sungguh terlihat pemandangan di sekeliling Gunung Merbabu. Di perjalanan kami tak henti-hentinya bercanda, mengeluarkan lelucon yang membuat para pendaki lain juga ikut tertawa, sampai-sampai ada 3 orang pendaki lain ingin bergabung dengan kami selama perjalanan.
Ah, senangnya berada di Gunung ya begini kita tidak perlu tahu latar belakang pekerjaan, suku, dan agama kita sudah bisa cepat akrab dan menyatu.
Seiring berjalannya waktu, semakin dewasa dalam berpikir dan semakin bertambahnya umur saya dan kawan-kawan, hobi atau kecintaan kami masing-masing terhadap Gunung memang tidak pernah berubah. Bahkan kami semakin merasakan kenyamanan dan ketenangan jika kami pergi ke Gunung.
Menurut pemikiran saya, yang berubah hanyalah cara pandang dalam tiap pendakian. Dulu saya selalu berpikir harus sampai puncak, sayang sudah jauh-jauh sampai di Gunung dan capek-capek mendaki jika tidak sampai puncak.
Tidak masalah jika fisik dan waktu yang kita punya cukup, tetapi kembali lagi semakin kita tua, kita sudah disibukkan dengan segudang kegiatan dan tanggung jawab. Fisik kita juga pasti sudah lebih menurun dibandingkan jaman muda dulu.
Gunung bukan Melulu soal Puncak
Malah di umur saya yang terbilang sudah tidak remaja lagi ini, mainset saya berubah menjadi: bukan hanya sekedar puncak yang kita tuju, tetapi proses pendakiannya atau perjalanannya. Tawa dan canda, kesabaran dalam menunggu teman yang kelelahan dan berhenti sejenak hanya sekedar untuk melepas dahaga itulah moment yang menjadi cerita saat kita sudah turun gunung dan bisa kita ceritakan ke anak cucu kita kelak.
Memang puncak gunung adalah target utama dari kebanyakan pendaki, tetapi jangan lupakan proses pendakiannya yaitu perjalanan dalam menggapai puncak itu sendiri. Di situlah terdapat ego yang harus kita kalahkan, kondisi fisik limit yang harus kita lawan, dan dibutuhkan kesepakatan dan kerjasama tim yang solid. Pelajaran hidup yang dapat kita petik untuk sehari-hari justru kita dapatkan dalam proses pendakiannya itu sendiri.
Coba saja kawan, sesekali kalian mendaki gunung. Jadikan puncak bukan tujuan utamanya, nikmati proses pendakiannya, perjalanannya, moment-moment suka dan duka selama di perjalanan bersama sahabat kalian. Toh, bukannya pulang dengan selamat adalah tujuan yang lebih penting dari setiap pendakian? Next