Andai saja kala itu Abah Buang malas meneruskan usaha kuliner keluarganya dan berkeras menjadi pegawai bank, mungkin takkan ada kuliner legendaris bernama Tahu Lontong Lonceng Malang. Ya, demikianlah kisah pemilik salah satu kedai favorit Kota Bunga tersebut.
Baca juga : Enjoying Bandung City Light at Bukit Moko
Tahu Lonceng sudah dirintis kakek dan ayah Abah Buang sejak 1935. Kini, usaha kulinernya sudah berusia 84 tahun. Rentang usia yang cukup lama untuk sebuah bisnis makanan tradisional. Memasuki generasi ke-4, bagaimana warung tahu bumbu ini bisa bertahan begitu lama? Yuk, simak ulasan lengkapnya.
Berawal dari Penjual Tahu Keliling
Sejarah Tahu Lonceng berawal dari pria bernama Abdul Jalal, yang merintis usaha berjualan tahu lontong keliling pada 1935. Sambil memikul barang dagangannya, Abdul berjalan ke beberapa titik keramaian kala itu.
Ia bahkan berjualan hingga Pasar Malam Kebon Agung, yang jaraknya cukup jauh dari Kota Lama – daerah tempat tinggalnya. Meski sulit, Abdul terus berjuang demi bertahan hidup.
Kegigihannya tersebut lantas terbayar. Usaha tahu lontong yang dirintisnya terus berkembang dan memiliki 10 anak buah. Masing-masing lantas dijarkan ketrampilan membuat tahu lontong dan berjualan sambil dipikul. Kebanyakan lantas lepas dari perintisnya, begitu merasa sudah bisa berjualan mandiri.
Sebutan Tahu Lonceng
Dua puluh tahun berselang, saat raga tak mampu lagi, usaha tahu lontong dilanjutkan anak tunggal Abdul Djalal yang bernama Kusen. Memasuki 1950an, cara menjajakan dagangan dengan dipikul sudah ditinggalkan. Kusen menetap di emperan toko milik Ko Shiang di sekitar Tugu Lonceng, monumen yang didirikan pejabat Belanda. Lokasi tersebut kini bernama Jalan Gatot Subroto Malang
Ko Shiang sendiri adalah warga keturunan Tionghoa yang berbaik hati memberi tempat berjualan. Bahkan kebutuhan air pun dibantu oleh pedagang kelontong itu. Sebuah gambaran hidup rukun dan saling membantu antara sesama terlihat kental.
Hal ini sekaligus menjadi awal kemunculan nama Tahu Lonceng. Sebutan tersebut disematkan lantaran kedai berlokasi di sekitar Tugu Lonceng.
Drama Keluarga
Memasuki 1969, anak tunggal Kusen, kini dikenal sebagai Abah Buang Abdur Rochim, melanjutkan usaha ayahnya. Proses suksesi ini tidak berjalan terlalu mulus. Sempat terjadi drama keluarga.
Kala itu Abah Buang sudah bekerja di sebuah Bank Pemerintah. Oleh orang tuanya, ia diminta berhenti kerja dan meneruskan usaha tahu lontong rintisan kakeknya. Apalagi bisnis kuliner ini sudah begitu dikenal masyarakat Malang.
Menurut penuturan istri Abah Buang, Sunarti, mertuanya sempat sedikit memberi tekanan. Bahkan melontarkan ancaman yang cukup mengerikan.
“Kalau suami saya tidak mau melanjutkan dagang tahu telor, ibu mertua pernah sedikit mengancam, lebih baik mati,” ungkap Sunarti.
Abah Buang lantas mengalah. Ia berhenti bekerja dan melanjutkan usaha ayah dan kakeknya. Menurut bapak tiga anak ini, tekun dan berusaha baik dalam melayani pelanggan adalah hal wajib. Tentu saja sembari tetap mempertahan mutu, rasa, dan racikan bumbu.
Lokasi Tahu Lonceng sendiri sempat agak bergeser. Hal ini diakibatkan proyek pelebaran jalan yang membuat Tugu Lonceng mengalami penggusuran. Untungnya, pergeseran ini sama sekali tidak mempengaruhi antusiasme pelanggan.
Memiliki Tempat Permanen
Ada sebuah kalimat bijak, usaha dan perjuangan gigih pasti akan membuahkan hasil. Hal tersebut terbukti lewat perjalanan Tahu Lonceng. Setelah sempat berjualan keliling, mendapat tempat di emperan, kuliner legendaris ini akhirnya memiliki lokasi permanen.
Pada tahun 1988 ada sebidang tanah tak jauh dari Tugu Lonceng. Tanah seluas 4×10 meter milik Ko Sun tersebut lantas dibeli Abah Buang seharga 21 juta rupiah. Tujuannya agar memiliki tempat jualan berstatus permanen.
Di tahun yang sama, di atas tanah tersebut dibangun ruko dua lantai. Prosesnya bukan tanpa berjuangan. Abah Buang harus menjual perhiasan yang ia pinjam dari orang tua. Ia juga mendapat pinjaman dana Rp5 juta dari salah seorang pelanggan setianya, Ko Shin, yang juga menjalin hubungan baik dengannya. Utang tersebut berhasil dilunasi dalam tiga tahun.
Lagi-lagi Pindah
Dua tahun berselang, tepatnya 1990, barulah Warung Tahu Lonceng pindah ke tempat baru yang terus ditempati hingga sekarang. Lokasinya berada di Jalan Martadinata.
Meski kini berjualan di tempat permanen, kesan zaman dulu masih melekat. Hal tersebut terlihat dari perabot dan kursi pelanggan yang bentuknya masih sederhana. Papan nama warung yang dipasang di atas pintu harmonika pun terlihat sangat klasik.
Kesederhanaan di Warung Tahu Lonceng tak lantas mengurangi minat pelanggan. Sejumlah media bahkan kerap meliput salah satu kuliner legendaris Malang ini. Pembawa acara kenamaan, Peppy, juga sempat mampir untuk mencicipi lezatnya tahu lontong racikan Abah Buang.
Rahasia Bertahan Puluhan Tahun
Abah Buang mengaku tidak memiliki rahasia khusus dalam usahanya. Hanya saja ia tetap mempertahankan cita rasa dan bumbu tahu lontong Lonceng sesuai resep para pendahulunya.
Pria yang dikaruniai seorang putra dan dua orang putri ini juga menegaskan bahwa tahu lontongnya tidak jauh beda dengan yang dijual kebanyakan orang. Namun jangan salah, ada beberapa unsur yang takkan ditemui di kuliner sejenis.
Pertama, bahan baku tahu diproduksi sendiri oleh Abah Buang. Hal ini juga dilakukan oleh para pendahulunya. Kebersihan saat produksi pun bisa lebih terjamin. Tahu yang dihasilkan tiap hari bisa mencapai 10 kilogram. Namun jika dulu menggunakan alat tradisional, kini sudah memakai mesin.
Rahasia berikutnya adalah petis berkualitas. Abah Buang selalu menggunakan petis pilihan dan dimasak menggunakan bumbu khusus. Tak hanya nikmat, namun juga sehat karena menggunakan bahan higienis.
Faktor ketiga yang membuat Tahu Lontong tetap jadi favorit hingga kini adalah kacang. Sengaja didatangkan dari Tuban, kacang berukuran 8mm diklaim bisa mencegah masakan terasa ‘langu’ atau kurang sedap. Jika stok sedang kosong, Abah Buang biasanya menggunakan kacang Bali Super dengan ukuran sama.
Kecap yang digunakan di Tahu Lontong Lonceng juga tidak sembarangan. Sengaja dipilih merk Dorang dan dicampur dengan beberapa bahan lain seperti gula merah, bawang, dan garam.
Terakhir, sajian tahu bakal terasa kian lezat dengan tambahan Koya. Sunarti, Istri Abah Buang, mengatakan hal ini yang membuat Tahu Lonceng terasa berbeda dengan menu serupa lainnya. Dengan ditambah satu sendok koya, rasanya akan lebih gurih.
Menurut Abah Buang, bumbu dan bahan tahu lontong tak pernah berubah sejak dulu. Inilah yang dipercaya membuat usahanya bertahan hingga empat generasi.
Sederhana Namun Menggugah Selera
Jadi penasaran kan seperti apa penampakan Tahu Lontong Lonceng yang tersohor itu? Di warungnya yang tak begitu luas tersebut, konsumen bisa melihat langsung proses pembuatannya.
Bagian depan warung memiliki gerobak besar berisi macam-macam bahan dasar. Tepat di sebelahnya terdapat dua kompor untuk menggoreng tahu dan telor. Meski tak seberapa luas, kedai mungil ini tampak begitu bersih. Tatanan kursi dan bangku panjangnya juga rapi.
Menu disajikan adalah tahu bumbu dengan beragam varian. Sesuai selera pelanggan bisa memilih disajikan bersama lontong atau nasi. Mereka juga bisa memilih tahu bumbu biasa atau tau telor.
Setiap porsi akan disajikan dengan taburan kecambah, potongan daun seledri, dan disiram bumbu kacang. Sebagai pelengkap akan diberikan topping kerupuk. Rasanya sangat nikmat, apalagi jika disantap saat jam-jam makan siang.
Sensasinya bakal terasa kian mantap jika ditutup dengan minum segelas teh hangat. Pengunjung juga bisa memesan kopi atau jeruk. Tidak banyak pilihan menu di sini. Cukup sederhana, seperti warungnya. Namun untuk rasanya tentu tak perlu diragukan lagi.
Sepiring Tahu lontong Lonceng dibandrol seharga Rp11 ribu saja. Tanpa perlu merogoh kocek terlalu dalam, Teman Traveler sudah bisa menikmati sajian legendaris nikmat ini.
Harapan di Masa Mendatang
Abah Buang dan istrinya tak menyimpan harapan berlebihan terkait Tahu Lonceng. Sekedar mampu menjalankan amanah meneruskan usaha kakek dan orang tua adalah sesuatu yang sangat mereka syukuri.
Dirinya juga sudah mulai meneruskan ilmu membuat tahu lontong pada anak-anaknya. Sama seperti dirinya, Abah Buang juga berharap putra-putrinya tersebut bersedia melanjutkan usaha kuliner legendaris ini di masa mendatang.
Abah Buang juga menekankan pentingnya kejujuran, tekun, dan menjaga mutu. Tak perlu takut menghadapi persaingan dagang yang kadang beraroma mistis.
“Serahkan pada Allah, Insha Allah akan diberi petunjuk dan diberi kelancaran,” tuturnya.
Abah Buang mengaku pernah mengalami gangguan dalam usahanya. Suatu waktu pelanggan menemukan kawat panjang dalam lontong yang akan disantapnya. Padahal saat memotong lontong, ia tak terlihat ada kawat tersebut. Wallahu alam.
Terkait omset, Abah Buang sekedar menguraikan bahwa dalam sehari ia mampu menghabiskan tahu 5kg dan lontong 4kg. Semua hal tersebut disyukurinya. Bagi Sang Abah, yang terpenting omset bisa stabil dan mampu membayar karyawan, karena banyak orang hidupnya bergantung pada usaha ini.
Pemilik usaha spesialis tahu lontong ini hanya berharap, usahanya tetap berjalan dan bertahan hingga anak cucunya kelak. Sebagai bekal masa depan, Abah Buang juga sempat membukakan cabang Tahu Lontong Lonceng untuk anak keduanya di Jalan Panji Suroso Malang.
“Semoga bisa lebih maju dan bermanfaat untuk semuanya,” paparnya.
Bagi masyarakat Malang, wisatawan, maupun pemburu kuliner, jangan ragu mencicipi sajian legendaris Tahu Lontong Lonceng. Lokasinya berada di tengah kota, sangat terjangkau.
Kuliner Malang satu ini sungguh menggugah selera, ya. Bagaimana, adakah Teman Traveler yang sudah pernah membuktikan kelezatannya? Next