Kegiatan Traveling bukanlah tren masa kini yang tiba-tiba ada. Sejak dulu hingga sekarang, berwisata terus dilakukan. Namun dari waktu ke waktu tentu ada perbedaan seiring dengan perkembangan teknologi. Traveling di era 80an pasti tidak sama dengan gaya liburan di jaman sekarang. Den beberapa hal di masa silam kini hanya jadi memori, seperti kenangan yang dimiliki oleh Nelwin Aldriansyah, seorang pria yang sudah keliling dunia di tahun 80an berikut ini.
Baca juga : The Beautiful and Spectacular Orchid Forest Cikole Lembang
1. Setiap Jengkal Selalu Penuh tantangan
Saat ini melakukan perjalanan lebih mudah dibanding dulu tahun 80an. Nelwin mengaku jika traveling sendiri di tahun 80an jauh lebih menantang. “Wisata independen di tahun 80an jauh lebih menantang. Belum ada smarphone yang canggih, apalagi GPS dan google map. Belum ada maskapai penerbangan dengan budget murag ataupun tiket promo, belum ada sistem pemesanan hotel online seperti saat ini. Semua serba konservatif dan harus banyak berinteraksi dengan manusia. Pesan tiket pesawat atau hotel harus ke travel agent atau menelfon sendiri ke hotel untuk booking. Saat ini serba mudah, semua persiapan untuk travel bisa dilakukan dari ponsel,” cerita Nelwin.
2. Ribetnya Mengurus Dokumen Sampai Harus ke Kantor Polisi
Tantangan juga muncul saat mengurus berbagai berkas menjelang keberangkatan. Nelwin dan traveler lainnya masih harus ke Kantor Imigrasi, Kepolisan dan membayar ini itu di Bandara. “Tahun 80an itu WNI kalau mau ke luar negeri harus mengurus exit permit dulu ke Imigrasi, dan melampirkan surat berkelakuan baik dari kepolisian. Di bandara, masih harus membayar fiskal luar negeri,” ungkapnya.
3. Beratnya Keliling Eropa saat Belum ada Euro
Keliling Eropa malah lebih berat lagi. Nelwig mengungkapkan bahwa pada saat itu masih belum ada mata uang Euro. Itulah mengapa ketika masuk satu negara, harus melewati imigrasi dan custom dulu, kemudian menukar uang ke masing-masing mata uang di negara bersangkutan. Sebelum berangkat terlebih dahulu mengajukan visa ke masing-masing kedutaaan. Namun untuk Jerman Barat memberlakukan bebas visa bagi WNI.
4. Gampang Ditangkap Pihak Keamanan
Pernah saat solo traveling di Eropa tahun 1989, Nelwin pernah ditahan oleh pihak polisi custom di Swiss lantaran membawa sabun deterjen. “Karena saat pemeriksaan barang, mereka menemukan kantong plastik isi deterjen di tas saya. Saya dikira penyelundup narkoba, di kantor polisi kantong deterjen itu dites laboratorium. Saya juga menjalani test urine. Untungnya setelah menunggu sekitar satu jam, semua hasil tesnya negatif narkoba,” tambahnya.
5. Semua Diurus Sendiri
Sebagai solo traveler maka berbagai hal harus dilakukan sendiri. Terkadang Ia membersihkan pakaian kotor dengan laundry koin. Saat-saat seperti ini sempat membuat Nelwin harus merelakan celana panjangnya karena menciut. Pengalaman ini terjadi di Paris dan saat itu ia memasang setting timer maksimum ketika mengeringkan pakaian. Kamu pernah mengalamai hal seperti ini juga?
6. Pemesanan Tiket yang Bikin Pusing
Kisah suksesnya keliling dunia tidak serta merta terukir begitu saja. Nelwin masih harus mengurus berbagai dokumen perjalan yang membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Belum lagi mencari tiket perjalanan juga tidak gampang. “Pemesanan tiket dilakukan melalui travel agent beberapa bulan sebelumnya, untuk pengurusan visa saya lakukan sendiri, dengan bertanya-tanya prosedurnya ke travel agent, juga info dari kakak saya yang saat itu bekerja di salah satu maskapai penerbangan internasional,” jelasnya Nelwin.
7. Sulit Mendapatkan Informasi Seputar Wisata
Jaman dulu informasi sangat terbatas. Kebanyakan masih berbentuk buku panduan wisata. Itupun yang berbahasa Indonesia masih sedikit, sedangkan yang berbahasa Inggris harganya mahal. Untungnya, Nelwin dapat pinjaman buku dari sepupunya. “Buku wisata terbitan luar negeri macam lonely planet harganya terbilang mahal untuk kantong mahasiswa saat itu. Saya pinjam saja buku Europe Under $25 A Day milik sepupu saya,” ungkapnya. Di buku tersebut banyak disampaikan berbagai hal tentang tempat yang menarik, akomodai dengan tarif terjangkau, hingga transportasi dan akses menuju ke lokasi. Selain buku, bisa juga dengan memanfaatkan brosur-brosur wisata yang banyak tersedia di Bandara dan stasiun kereta api. Menurut Nelwin, stasiun kereta api di Eropa pada era 80aa kebanyakan sudah memiliki counter informasi wisata. Tinggal bertanya pada petugas dan biasanya juga mendapat peta lipat. Kalau beruntung bisa mendapat voucher diskon tiket masuk tempat wisata di brosur dan peta yang diberikan.
Dengan segala kemudahan dan kemurahan di era modern seperti sekarang ini, Nelwin berpesan agar jangan takut untuk mencoba solo traveling bahkan ke negara-negara yang jauh sekalian. “Mulailah travel sejak usia muda, tidak perlu menunggu punya uang banyak. Mulai dari yang sesuai dengan budget. Uang selalu bisa dicari, tapi kesempatan dan kesehatan akan semakin berkurang dengan bertambahnya usia,” saran dari Nelwin untuk para traveler masa kini. Next