Upacara Kasada sudah jadi adat tahunan Suku Tengger. Sekali dalam dua belas bulan, warga asli kawasan Gunung Bromo tersebut adakan syukuran untuk mengucap syukur dan memohon keberkahan di masa mendatang. Belakangan, tradisi ini juga jadi salah satu daya tarik wisata.
Baca juga : Homestay Jogja Wisata, Tempat Bermalam Nyaman dan Murah Dekat Malioboro
Saya sendiri beruntung bisa menyaksikan sebagian kecil dari prosesi Upacara Kasada. Ternyata ada satu sisi yang umumnya jarang disaksikan wisatawan. Apa itu? Yuk, simak ulasan saya berikut ini.
Berbondong-bondong ke Bromo
Puluhan orang duduk dengan santai di bagian belakang mobil bak terbuka. Meski situasinya kurang nyaman, mereka tetap nampak santai. Mobilnya sendiri menyusuri jalanan naik turun dan berkelok-kelok.
Setelah diperhatikan, ternyata tak hanya satu atau dua mobil yang melewati jalur menuju Bromo ini. Jumlahnya mencapai puluhan, dengan penumang orang dewasa serta anak-anak. Sebagian membawa sarung dan mengenakan udeng.
Mereka adalah masyarakat Tenggger yang sedang menuju Bromo, gunung yang jadi simbol agung singgasana Sang Hyang Widhi. Warga suku asli kawasan sekitar tersebut bersiap hendak melakukan ritual Yadnya Kasada.
Penghormatan pada Dewa
Dalam upacara Kasada, warga Tengger akan memberi persembahan pada Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Batara Brama. Oleh masyarakat Tengger, inti tradisi ini juga dituangkan dalam sebuah tarian yang mengisahkan perjalanan hidup Roro Anteng dan Joko Seger.
Meski lama menikah, keduanya tak kunjung memiliki keturunan. Barulah usai Joko Seger melakukan pertapaan, mereka lantas dikaruniai 25 anak. Namun ada satu syarat yang harus dipenuhi, keduanya harus rela mengorbankan Raden Kusuma, sang anak bungsu.
Meski berat hati, pada akhirnya Joko Seger dan Roro Anteng harus merelakan kepergian Raden Kusuma sebagai tumbal. Sejak saat itu, Suku Tengger harus membuang hasil bumi dan hewan ternak setiap purnama ke-12. Sesaji hasil bumi tersebut lantas ini diwujudkan dalam ongkek.
Mengambil Air Suci
Puncak upacara Kasada adalah melempar sesajen ke kawah Bromo. Namun sebelumnya, warga Tengger harus mengambil air suci dari gua Widodaren. Masyarakat sekitar percaya air ini punya khasiat melancarkan rezeki, jodoh karir, serta banyak hal lainnya.
Pengambilan air suci tak bisa dilakukan sembarangan. Hanya bisa tiga hari sebelum pelaksanaan Kasada dan bertepatan dengan Jumat Legi.
Selain mengambil air, warga Tengger juga kerap datang ke sini membawa sesaji berupa buah-buahan, nasi campur, sayuran, makananan ringan, serta kambing dan ayam. Begitu sampai gua, bakal ada Dukun Tengger atau sesepuh yang membimbing.
Meskipun perjalanan menuju Gua Widodaren cukup menanjak dan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki sekitar dua kilometer, nyatanya cukup banyak warga Tengger melakukan ritual ini.
Menuju Puncak Bromo
Begitu prosesi di Goa Widodaren selesai, Kasada dilanjutkan malam harinya di sekitar Luhur Poten, pura di bawah kaki Bromo. Meski cuaca sangat dingin, warga tetap antusias berkumpul. Sembari menghangatkan badan dekat api unggun, mereka menunggu waktu membawa sesaji ke puncak gunung pada pagi hari sekitar pukul 04.00.
Ketika waktunya tiba, masyarakat Tengger bakal beramai-ramai menuju puncak sembari memikul sesaji. Ratusan orang akan berada di bibir kawah untuk melangsungkan prosesi ini.
Berikutnya, satu-persatu sesaji akan dilempar ke kawah. Uniknya, di sana sudah ada banyak orang yang berebut mendapatkannya. Meski situasinya cukup berbahaya, para pemburu sesaji tersebut seperti tak kenal takut.
Pelemparan sesaji sekaligus mengakhiri ritual panjang Upacara Yadnya Kasada. Bagi para wisatawan, tradisi lawas ini merupakan sebuah fenomena budaya unik untuk disaksikan. Sementara bagi para pemburu sesaji, ini adalah hari istimewa untuk mengais berkah di lereng Bromo. Tertarik melihat langsung? Jangan ketinggalan di tahun depan, ya. Next