Sejak dulu Indonesia dikenal melahirkan ribuan pelaut hebat yang mampu menakhlukkan segala jenis lautan. Bukti kepiawaian mereka masih bisa kita saksikan di Museum Bahari Jakarta. Terletak hanya 1,5 kilometer dari Museum Fatahillah, tempat sejarah ini menjadi salah satu yang wajib dikunjungi. Yuk, simak ulasannya!
Baca juga : Tips Hindari Kejahatan Seksual Saat Solo Traveling, Tetap Waspada!
Koleksi ratusan perahu Se-Nusantara
Aneka jenis perahu tradisional yang datang dari berbagai wilayah di Nusantara dipamerkan disini. Sebut saja perahu Phinisi, Lancang Kuning, hingga Jukung yang terbuat dari kayu utuh sepanjang 11 meter.
Saya sendiri tertarik dengan proses pembuatan perahu jukung. Katanya, kendaraan ini dibuat dengan cara tradisional, yaitu dengan memanaskan kayu hingga memuai, lalu dibentuk seperti perahu. Hal tersebut dilakukan berulang-ulang dengan hati-hati untuk mencegah badan perahu retak atau patah. Butuh waktu berbulan-bulan hingga terbentuk badan perahu yang sempurna, sehingga bisa dipakai untuk melaut.
Selain itu, saya juga tertarik dengan perahu Cadik Nusantara. Menurut penuturan Ibu Destri, pemandu wisata dari Museum Bahari, kendaraan ini pernah digunakan oleh pelaut legendaris Effendy Soleman untuk berlayar seorang diri menuju ke Brunei Darussalam.
Replika kapal VOC hingga patung tokoh maritim Nusantara
Selain menampilkan perahu tradisional, Museum Bahari juga menyuguhkan aneka jenis replika kapal dari berbagai zaman, mulai dari masa pendudukan VOC hingga sekarang. Alat navigasi dan peta lautpun juga turut dipamerkan guna menambah ilmu kita tentang kemaritiman.
Tak lupa di museum ini ditampilkan patung para pelaut Nusantara, seperti Fatahillah, Laksamana Malahayati, Christopher Colombus, dan Admiral Cheng Ho.
Sempat menjadi gudang penyimpanan hasil bumi
Bangunan ini didirikan tahun 1652 di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Christoffel van Swoll. Gedung ini awalnya berfungsi sebagai gudang, mengingat posisinya berada di Sungai Ciliwung yang dijadikan pintu masuk rempah-rempah dan barang berkualitas tinggi.
Bangunan ini dua sisi yakni, yaitu sisi barat (Westzijdsche Pakhuizen) dan sisi Timur (Oostzijdsche Pkhuizen). Bagian inilah yang kini menjadi Museum Bahari.
Aktivitas yang dilakukan di gudang pada masa itu adalah penyimpanan, pengeringan, dan pengepakan barang-barang hasil bumi yang diangkut dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Karena posisinya yang terhubung langsung dengan Pelabuhan Sunda Kelapa, maka peruntukan gedung sebagai gudangpun tidak berubah, bahkan saat penjajahan Jepang. Selain sebagai penyimpanan logistik juga digunakan sebagai gudang persenjataan.
Hingga selepas masa kemerdekaan, gudang tersebut digunakan oleh Perusahaan Listrik Negara.
Ubin Seukuran Langkah Kaki
Kepiawaian bangsa Eropa dalam membuat bangunan perlu diacungi jempol. Hingga kini museum masih berdiri kokoh dengan ornamen yang sebagian besar masih asli. Jendela besar buatan Jepara masih terpasang kokoh.
Bangsa Belanda paham betul bahwa mereka memerlukan sirkulasi udara yang cukup supaya barang-barang yang disimpan di sana tidak mudah busuk. Jendela besar juga berfungsi untuk mempermudah sirkulasi udara dan menghalau cuaca ekstrem.
Keunikan lain bangunan ini adalah ukuran ubin keramiknya yang seukuran kaki orang Belanda. Sekilas bentuk ubin menjadi tidak simetris, namun ternyata sangat artistik.
Bangunan bersejarah yang telah berusia lebih dari 300 tahun ini diresmikan sebagai cagar budaya oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin pada tanggal 7 Juli 1977.
Menara ‘Bergoyang’
Kira-kira 200 meter dari Museum Bahari, berdiri sebuah bangunan bernama Menara Syahbandar. Dibangun tahun 1839, bangunan berlantai tiga ini memiliki tinggi 12 meter.
Lantai paling atas digunakan untuk memantau kapal yang sedang melakukan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Sunda Kelapa. Menara ini juga digunakan sebagai kantor ‘Bea dan Cukai’ sekaligus menjadi saksi penarikan pajak bongkar muat.
Konon, di bawah menara terdapat terowongan yang terhubung dengan Benteng Frederik Hendrik. Kini lokasinya berada di Mesjid Istiqlal. Saat coba saya datangi, ternyata tidak dibuka untuk umum.
Ironisnya, struktur Menara Syahbandar semakin miring seiring berjalannya waktu. Penyebabnya karena intrusi air laut yang menyebabkan permukaan tanah menjadi turun, sehingga pondasi menara menjadi tidak stabil.
Menariknya, ketika mengunjungi lokasi ini, sesekali kita akan merasakan goncangan kecil. Hal ini disebabkan letak bangunan berada di bawah jalan raya besar yang dilalui truk kontainer. Jalur inilah salah satu jalan utama yang menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok. Itu sebabnya Menara Syahbandar dijuluki ‘Menara Bergoyang‘.
Demikian ulasan singkat tentang Museum Bahari di Jakarta. Yuk, kita kunjungi kawasan bersejarah Jakarta ini!