Lombok tidak hanya terkenal dengan wisata alam, tapi juga budaya serta adat istiadatnya yang tetap terjaga hingga saat ini. Toleransi antar umat beragama juga erat, sehingga tak heran jika gelaran tradisi Perang Topat tak pernah gagal digelar. Ritual tahunan religi dan budaya ini berlangsung pada tanggal 22 November 2018 di Pura Lingsar, Lombok Barat. Seperti apa keseruan dari Perang Topat 2018 ini? Berikut ulasan dari Kontributor Travelingyuk, Sidik Al-Anshori.
Baca juga : Goa Giri Putri Bali, Cantiknya Salah Satu Pura di Pulau Dewata dengan Pintu Masuk Selebar 80 Cm Saja
Sudah Ada Sejak 1759
‘Perang Topat’ atau secara harfiah berarti perang ketupat merupakan salah satu tradisi warisan leluhur tahunan di Lombok antara Suku Sasak yang beragama Islam dan dan suku Bali yang beragama Hindu. Konon, warisan budaya leluhur ini sudah dimulai sejak tahun 1759 dan hingga kini masih terpelihara dengan baik. Pusat prosesi acaranya pun masih tidak berubah sejak ribuan tahun yang lalu yaitu di Pura Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
Bangkit Merajut Harmoni dan Toleransi
“Bangkit Merajut Harmoni dan Toleransi” merupakan tema yang diangkat pada gelaran Perang Topat 2018. Hal ini berarti para pemeluk agama Islam-Hindu mulai bangkit dari segala duka yang pernah terjadi akibat bencana gempa beberapa waktu lalu, sekaligus mempertahankan kerukunan dan saling hormat-menghormati dalam kehidupan bersuku serta beragama.
Kesenian Tradisional yang Mencuri Perhatian
Sebelum melaksanakan prosesi Perang Topat berbagai kesenian khas Suku Sasak dan Suku Bali ditampilkan. Walaupun berbeda suku dan agama, persatuan dan persaudaraan sangat terlihat pada penampilan kesenian masing-masing dan menjadi penghibur bagi masyarakat yang menyaksikan acara Perang Topat di kompleks Pura Lingsar.
Dimulai Ketika “Rara’ Kembang Waru”
Prosesi perang topat biasanya dilaksanakan setelah “rara’ kembang waru” yang berarti gugur bunga waru. Rara’ kembang waru bermakna masuknya waktu sholat ashar. Disebut demikian karena konon pada masa lalu, para leluhur menentukan waktu sholat ashar ketika bunga waru mulai gugur yang biasanya tepat pada pukul 16.00 WITA. Setelah “rara’ kembang waru”, dimulailah segala prosesi hingga perang topat dimulai.
Prosesi Sebelum ‘Perang Topat’
Sebelum melaksanakan Perang Topat, umat Hindu terlebih dahulu melakukan Puja Wali atau persembahyangan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya dilanjutkan dengan arakan ketupat sebesar butir telur yang dipergunakan sebagai ‘peluru’ oleh iring-iringan Batek Baris. Iringan Batek Baris ini merupakan belasan pasukan berpakaian ala kompeni Belanda, lengkap dengan senapan.
Batek Baris berada di barisan depan mengawal puluhan kaum ibu yang membawa ribuan ketupat dan sesajen dalam bentuk bunga dan buah-buahan menuju Kemalik atau tempat yang dikeramatkan oleh Suku Sasak. Kemalik yang berada di wilayah Pura Lingsar menjadi tempat proses doa sebelum memulai acara perang topat.
Serunya Perang Topat
Setelah proses doa di Kemalik selesai, tibalah saatnya para warga saling melempar dengan menggunakan ribuan ketupat. Pada ‘perang’ ini biasanya dihiasi dengan senyum keceriaan para pelempar dan tidak ada satupun yang merasa dendam ketika terkena ‘peluru’ ketupat.
Berbagai perangkat yang harus tersedia agar Perang Topat berjalan sesuai dengan warisan leluhur yakni rombong, sesaji, kebun odek, lamak, momot, kerbau dan ketupat. Menariknya, tradisi ini tidak hanya dihadiri warga sekitar, tapi juga wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Itu tadi ulasan lengkap mengenai Perang Topat 2018. Perang yang bertujuan untuk menjaga perdamaian antar umat beragama. Event ini bisa menjadi pilihan yang tepat untuk Teman Traveler melihat kerukunan umat beragama di Lombok. Tak perlu khawatir, tradisi ini juga akan digelar di tahun depan, jadi, siapkan diri Teman Traveler untuk mengikuti acara ini ya! Next