Indonesia dari dulu dikenal dengan beragam budaya dan tradisi di masing-masing daerah. Seperti halnya hukuman adat yang sampai saat ini masih tetap dijalankan. Beberapa hukuman adat tersebut dibagi menjadi beberapa hal, misalnya tentang perzinahan yang banyak dibicarakan oleh masyarakat. Kira-kira di mana saja ya yang menjalankan sanksi adat tentang perzinahan di Indonesia? Yuk kita telusuri.
Baca juga : Ingin Ngedate Romantis? Berikut Tempat Dinner Rekomendasi di Makassar
Hukum Cambuk di Aceh
Sanksi perzinahan mulai tenar semenjak Aceh membuat sebuah aturan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Di aturan tersebut dituliskan, bagi siapa saja yang melakukan zina dalam bentuk apapun, harus menerima hukuman cambuk. Nah, dalam penerapannya, ada beberapa fakta yang perlu diketahui.
Seperti cambuk yang digunakan adalah sebuah rotan dengan panjang sekitar 0,75 sampai 1 meter. Kemudian algojo yang mencambuk menggunakan pakaian sejenis burka yang menutupinya seluruh tubuhnya kecuali mata. Lalu, pencambukan juga bisa dihentikan sejenak, apabila terdakwa mengangkat tangannya alias tidak kuat, namun hukuman tersebut akan dilanjutkan lagi jika tersangka sudah siap.
Diarak Telanjang di Suku Dayak Ma’anyan
Selain Aceh, Suku Dayak Ma’anyan yang banyak mendiami Kalimantan Tengah juga menerapkan sanksi adat untuk lelaki dan wanita yang melakukan perzinahan. Hukuman tersebut dinamakan Sihala, di mana pelaku akan dihukum sesuai dengan kesalahan masing-masing.
Apabila pria dan wanita belum menikah ditemukan berduaan di tempat sepi dan gelap, mereka akan dikenakan Sihala jenis pertama. Yakni mereka akan dibawa ke balai desa dan disatukan secara adat di sana. Beda halnya jika perempuan dan laki-laki belum menikah ditemukan berduaan dalam kondisi sedang berhubungan badan, mereka akan terkena Sihala jenis kedua. Adalah keduanya dibawa ke balai desa dan diarak telanjang berkeliling kampung.
Dihanyutkan ke Laut di Mamuju
Di Mamuju, Sulawesi Barat juga menerapkan sanksi adat yang tak kalah menakutkan. Yaitu para pelaku dihanyutkan ke laut. Sebelumnya, tetua adat akan melakukan ritual semacam tolak bala dengan bakar kemenyan dan berdoa. Ini dilakukan supaya kampung setempat tidak terkena azab.
Baru setelahnya, laki-laki dan perempuan yang menyalahi norma adat akan dibawa ke sebuah rakit berbahan gabus dengan ukuran 1×1,5 meter. Lalu, tetua adat akan menggunting sedikit rambut pelaku kemudian mendorongnya ke laut.
Keduanya lalu melepas pakaian yang dikenakan dengan tujuan membuang ‘kotoran’. Setelah mereka dihantam gelombang, tetua adat akan menyuruh warga untuk membawa pelaku ke tepian pantai. Jadi, mereka tak benar-benar dihanyutkan, namun lebih kepada ritual bersih diri dan menerima ‘sedikit’ hukuman dari alam.
‘Cuci Kampung’ di Jambi
Terakhir, ada sanksi adat bernama ‘Cuci Kampung’ di Jambi. Ini bukan berarti dihukum membersihkan satu kampung, seperti menyapu, mengepel dan lain sebagainya. Namun maksudnya adalah melakukan sebuah ritual untuk membersihkan nama kampung. Biasanya, para pelaku akan disuruh menyiapkan kambing atau kerbau untuk disembelih.
Ritual ‘Cuci Kampung’ ternyata juga dilakukan di beberapa daerah, Teman Traveler. Seperti Palu dan Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah. Namun, untuk cara ritualnya berbeda-beda di setiap daerah.
Ternyata tak hanya Aceh yang menerapkan saksi adat tentang perzinahan. Ada banyak daerah seperti Kalimantan dan Sulawesi yang hukumannya tak kalah berat. Nah, apakah di daerah Teman Traveler ada sanksi adat serupa? Next