Imlek akan datang sebentar lagi. Nah, bagi kalian yang ada di Jakarta, ada tempat menarik yang bisa kalian kunjungi. Yaitu vihara bersejarah yang tersebar di beberapa sudut Jakarta. Penasaran apa saja? Bisa simak ulasan di bawah ini.
Baca juga : 6 Hal yang Wajib Diperhatikan Saat Memilih Travelmate. Salah Satunya Jangan yang Bucin!
1. Vihara Dharma Jaya Toasebio
Kata Toasebio dari vihara yang terletak di Petak Sembilan, Glodok ini adalah gabungan dari 2 kata, yakni Toase yang berarti pesan dan Bio yang berarti Klenteng. Sebelum dihibahkan ke Yayasan Dharma Jaya, klenteng ini milik tuan tanah bermarga Tan hingga generasi ke-4. Di dalamnya terdapat 18 altar untuk memanjatkan doa kepada para dewa dengan macam-macam fungsi.
Ketika terjadi tragedi pembantaian etnis Tionghoa tahun 1740, VOC menggeledah dan membakar tempat tinggal, toko-toko, termasuk tempat ibadah seperti Toasebio.
Pasca kerusuhan, vihara dibangun kembali tahun 1754. Kini, usianya sudah mencapai 265 tahun, yang menjadikannya salah satu wihara tertua di Jakarta. Bagian-bagian bangunan yang masih asli dan tidak ikut terbakar masih bisa kalian lihat, misalnya ornamen merah pada bagian luar vihara dan ornamen naga hijau yang melingkar.
2. Vihara Dharma Bhakti
Masih terletak di Petak Sembilan, klenteng tertua di Jakarta ini pertama kali dibangun tahun 1650 oleh Letnan Gou Xun-Guan dengan nama Guan Yin Ting.
Seperti yang dialami Vihara Toasebio, Vihara Dharma Bhakti pernah dibakar oleh VOC tahun 1740 saat tragedi Angke. Akhirnya, klenteng ini direkonstruksi oleh Kapiten Oey Tjie dan namanya berubah menjadi Kim Tek Ie. Kemudian, klenteng ini sempat terbakar lagi tahun 2015 karena korsleting listrik yang menghanguskan altar utama dan sejumlah rumah di dekatnya.
Larangan keberadaan klenteng pada zaman Order Baru, membuat klenteng ini dimasukkan dalam kategori wihara untuk menghindari penutupan operasional dan berubah nama menjadi Vihara Dharma Bhakti. Aliran yang dianut adalah Buddha Tridharma.
Setiap Imlek, halaman klenteng dipenuhi para pengemis, yang banyak dari kota-kota lain di dekat Jakarta, untuk mendapatkan angpau.
3. Klenteng Sin Tek Bio (Vihara Dharma Jaya)
Klenteng di Pasar Baru ini memang tergolong sulit dicari karena jalannya berupa gang-gang kecil yang dihimpit gedung-gedung tinggi. Namun, keberadaannya sudah dikenal luas, termasuk turis-turis luar kota, bahkan mancanegara karena unsur historisnya.
Sin Tek Bio didirikan tahun 1698 di Jalan Belakang Kongsie no. 16, yang diduga oleh petani Tionghoa yang tinggal di bantaran kali Ciliwung sekitar Pasar Baru. Saat pembangunan, Pasar Baru masih berupa hutan dan rawa. Pada tahun 1812, lokasinya dipindah ke Jalan Pasar Baru Dalam Pasar no. 146. Perubahan nama menjadi Vihara Dharma Jaya terjadi tanggal 12 Mei 1982 karena sentimen politik dan nama Cina saat itu.
Klenteng ini terdiri dari 2 gedung, di mana gedung yang besar dewa utamanya adalah Hok-Tek Ceng-Sin (Dewa Bumi dan Rezeki) dan gedung satu lagi adalah Dewi Kuan Im, yang dipercaya menolong di saat kesulitan. Kalian juga akan menjumpai ratusan patung dewa yang bervariasi umurnya, mulai dari abad 17 hingga 20.
4. Vihara Bahtera Bhakti
Letak vihara tua ini tidak begitu lazim karena berada di kompleks perumahan mewah di Ancol, yakni Perumahan Pasir Putih. Awal pendiriannya dimulai ketika kapal Laksamana Cheng Ho mendarat di tepi sungai Ancol yang bernama Kota Paris. Di sinilah Sampo Spoei Soe, juru masak Laksamana Cheng Ho yang merupakan Tionghoa Muslim menikahi Siti Wati, penari ronggeng dan anak dari ulama terkenal Embah Said Areli Dato Kembang dan Ibu Enneng, dan akhirnya menetap di Ancol.
Ketika orang-orang Tiongkok ingin menemui Sampo Soei Soe, ia ditemukan wafat. Maka dibangunlah tempat sebagai penghormatan terhadap Sampo Soei Soe yang akhirnya menjadi klenteng. Lalu, Vihara ini sudah mengalami perubahan nama sebanyak 3 kali, dari Klenteng Da Bo Gong, Klenteng Ancol hingga Vihara Bahtera Bhakti.
Tersedia ruang khusus di dalam vihara untuk mendoakan Sampo Soei Soe dan Siti Wati di bagian kanan altar utama, serta kedua orang tua dari Siti Wati di makam mereka di belakang altar. Para peziarah tidak hanya orang Budha dan Kong Hu Chu, tetapi juga Muslim hingga Kristen.
5. Vihara Lalitavistara
Vihara bersejarah di Jakarta yang terakhir ada Lalitavistara. Hal yang menjadi ciri khas dari vihara ini adalah keberadaan pendopo dengan stupa emas seperti di Candi Borobudur yang menaungi guci tempat pembakaran dupa.
Vihara yang awalnya bernama Klenteng Sam Kuan Tai Tie ini telah ada sejak abad 16 dan ditemukan oleh pelaut di pantai dekat Cilincing. Hal ini tak terpisahkan dari penemuan papan hitam bertuliskan Sam Kuan Tai Tie, yang merupakan nama klenteng tua di Tiongkok, yang terdampar di pesisir pantai Cilincing. Papan ini dipercaya dapat mengabulkan doa dan harapan. Maka banyak yang berbondong-bondong untuk mencarinya.
Papan ini sempat hilang bertahun-tahun dan suatu hari ditemukan jasad laki-laki, yang ternyata seorang perampok, di mana tak jauh dari situ terdapat papan Sam Kuan Tai Tie yang telah lama dicari-cari.
Pada tahun 1957, Vihara Lalitavistara didirikan di lokasi papan hitam tersohor ini berada. Kemudian dilakukan pemugaran dan diresmikan kembali tanggal 7 Oktober 1989 oleh Kementerian Agama RI. Nama Lalitavistara merujuk pada kitab suci agama Budha yang menceritakan riwayat Sidartha Gautama dari lahir hingga akhir hayatnya.
Selain tempat ibadah, di sini juga terdapat asrama tempat biksu dan biksuni tinggal, rumah abu serta sekolah SD, SMP, SMA dan Sekolah Tinggi Agama Budha Maha Prajna.
Semua vihara ini terbuka untuk pengunjung dari latar belakang agama yang berbeda, baik yang ingin sembahyang, melihat-lihat saja maupun foto-foto, selama tidak mengganggu kegiatan beribadah. Para staff yang menjaga vihara juga umumnya terbuka untuk menjawab pertanyaan pengunjung seputar informasi tentang elemen-elemen dalam vihara selama bukan jam sibuk. Bagaimana Teman Traveler, tertarik untuk mengunjungi vihara bersejarah di Jakarta ini? Next